Senin, 05 Desember 2016
Episode 13
Mataku sembab, sudah tiga hari aku tidak masuk kelas dengan alasan
sakit. Hasil ujian semester pertama sudah keluar dan nilai-nilaiku tetap bagus,
ternyata jurusan IPA sebagaimana keinginan mama tidaklah sesulit anggapanku
sebelumnya. Mungkin aku bisa naik ke kelas XI A IPA tahun depan, naik satu
tingkat dari tahun ini. Hmmmmm, tapi untuk sekarang itu tidak penting, bahkan
untuk melanjutkan pendidikanku di sekolah ini pun terasa tak menarik lagi.
Sebagai
siswa SMA seharusnya sangat menyenangkan, selain pelajaran baru, teman-teman
dan suasana baru, menjadi siswa paling senior di asrama sangat menguntungkan
dan memudahkan segala urusan, aku bisa minta tolong junior untuk mengerjakan
sesuatu, atau sekedar menggoda anak-anak SMP yang ketahuan melanggar aturan,
atau ikut ngejahilin mereka di ruang ganti (tentu masih dalam tahap wajar).
Namun
menjelang semester dua ini, air mata dan kesedihan menyelimuti jiwa ragaku.
Peristiwa ini menjadi kesedihan yang mencabik-cabik hati. Aku tak lagi dapat
merasakan sesuatu, serasa hidup di kegelapan, tak ada suara yang terdengar, tak
ada semangat untuk bangkit, bahkan aku tidak tau sudah berapa lama tidak
makan dan minum, aku juga tidak mandi. Mandi bukan urusan yang penting lagi,
pakaian kotor menumpuk dalam lemari, mengantarkannya ke laundry yang berada di
lantai satu pun aku tak ingin.
Tumpukan
buku di atas meja berserakan tak karuan, tas cokelat yang biasa aku bawa ke
kelas masih sama seperti hari terakhir aku sekolah. Ketidakpedulian dan
kekacauan hidupku sudah pada tahap akut, bahkan tidak ada rasa takut sedikitpun
untuk melanggar lusinan peraturan yang ada di sekolah ini, mulai dari tidak
masuk kelas, tidak ikut absen malam, tidak ikut kegiatan pramuka, puluhan
rutinitas asrama aku abaikan, PR yang lumayan banyak tidak aku kerjakan, hingga
peraturan kecil seperti membuang sampah sembarangan dan perbuatan tidak sopan
terhdap pengurus asrama.
Rasanya
bila ada yang sengaja memancing emosiku, akan aku tantang berkelahi bahkan
pengurus OSIS atau guru sekalipun. Aku tidak peduli akibat atau sanksi yang
akan menimpaku, aku tak peduli.
Dengan
rasa malas aku bangkit dari tempat tidur, jam dinding di kamar yang memiliki 4
ranjang ini menunjukkan pulu 09.55, dengan pelan aku melangkah ke sudut
ruangan, sedikit mengintip ke halaman asrama kami melalui jendela panjang,
tampak beberapa guru berjalan menuju gedung-gedung belajar, suasana terlihat
lengang karena sebagian siswa telah masuk kelas.
Perlahan
air mata menetes lagi, teringat peristiwa siang itu, empat hari lalu seluruh
siswa dikumpulkan di aula pertemuan setelah jam makan siang. Pengumuman
disampaikan oleh Bagian Penerangan dan Jurnalistik OSIS melalui speaker toa
yang tersebar di setiap sudut kampus.
Aku
dan beberapa temanku mengambil posisi duduk asal-asal saja, karena belum tau
penyebab seluruh siswa dikumpulkan di aula. Biasanya ada masalah serius
sehingga seluruh penghuni kampus ini harus dikumpulkan. Dalam waktu kurang dari
lima belas menit semua siswa sudah berkumpul. Suasana sangat ramai, banyak
pertanyaan-pertanyaan muncul tidak tau diarahkan kepada siapa. Seorang siswa
kelas IX yang duduk di sampingku sempat bertanya ada masalah apa sehingga kami
dikumpulkan, aku hanya menggeleng saja tanda tak tahu sama seperti sebagian
besar siswa yang hadir.
Tidak
lama beberapa orang siswa kelas 3 SMA berperawakan tegap, berambut cepak dan
bermuka masam masuk melalui pintu-pintu aula dan berdiri menghadap seluruh
siswa kelas VII sampai kelas XI. Tidak ada senyum di wajah kakak-kakak Bagian
Keamanan OSIS itu. Semua siswa tanpa komando diam, suasana sunyi, hanya suara
berisik dari soundsistem dan mikrofon yang sedang disiapkan Bagian Penerangan
dan Jurnalistik yang terdengar. Kakak-kakak Bagian Keamanan memandangi seluruh
siswa seperti seorang komandan perang sedang menakuti-nakuti tahanannya.
Benar-benar mencekam dan menakutkan (menurutku begitu).
Seorang
remaja berpakaian rapi menggunakan seragam SMA dengan rambut tidak berbeda
dengan Bagian Keamanan berjalan menuju tengah ruangan, semua mata tertuju pada
remaja muda tersebut. Dengan tinggi badan yang ideal dan wajah yang lumayan
tampan dia berdiri di tengah ruangan tepat di podium, sesaat dia tersenyum
tipis sambil mengamati seluruh aula dengan tenang. Matanya hitam dengan
pandangan sangat tajam dan fokus, bahkan cenderung mengintimidasi menurutku,
remaja 17 tahunan itu adalah siswa paling populer dan pastinya dikenal semua
siswa di sekolah ini, ya dia adalah Mahendra Adif Parayoga, Ketua OSIS angkatan
2011/2012 yang notabenenya siswa paling berpengaruh.
Kami
semua memandanginya tanpa berkedip, menunggu penjelasan atas semua peristiwa
yang janggal. Di tengah keheningan kak Mahendra mulai bicara menggunakan
mikrofon, dengan suara yang tegas menambah kewibawaannya.
"Adik-adik
sekalian, pada siang ini adik-adik dikumpulkan di aula ini karena ada
pengumuman penting level satu yang akan disampaikan" ucap remaja asal
Surabaya itu.
Banyak
siswa saling berbisik saat kata-kata "pengumuman level satu"
diucapkan ketua OSIS. Beberapa siswa SMP kelas 1 tampak bingung, tapi bagi kami
siswa SMA yang telah beberapa kali mendengarnya sudah paham, semua menjadi
bergidik mendengarnya, maklum saja pengumuman level satu adalah pengumuman penting
terkait status siswa yang dengan pelanggaran berat dan sangat berat, semua
saling menoleh dengan raut wajah penuh tanda tanya.
"Bagian
Penerangan dan Jurnalistik akan membacakan surat keputusan, selaku ketua OSIS,
saya berharap adik-adik menyimak dengan seksama dan mengambil pembelajaran dari
hal tersebut, karena dengan menjadikan peristiwa ini pembelajaran adik-adik
tidak akan bertindak ceroboh dalam melakukan sesuatu. Ingatlah tujuan utama
adik-adik ke sini, ingat pesan orang tua kita yang ingin anak-anaknya sukses.
Yayasan ini bukan benci pada mereka-mereka yang diberi sanksi, tetapi itu
bentuk evaluasi agar semua siswa paham betul betapa pentingnya nilai-nilai yang
ada di sekolah ini." lanjut Kak Mahendra.
Seluruh
siswa tidak ada yang bersuara, semua menyimak kata per kata dari Ketua OSIS.
Aku memutar kepalaku, memandang sekeliling, di setiap pintu masuk aula
pertemuan yang berjumlah 10 pintu, kakak Bagian Keamanan masih berdiri, dengan
posisi dan raut wajah yang tidak berubah, menjadikan suasana saat itu semakin
tegang.
Setelah
ketua OSIS menyampaikan pengantar, dua orang pengurus Bagian Penerangan dan
Jurnalistik maju ke tengah ruangan masing-masing dengan membawa sebuah map
berwarna merah. Kakak yang berpostur lebih pendek maju ke podium dan mulai
membacakan surat yang ada dalam map tersebut, sedang yang satunya lagi tetap
berdiri di belakangnya sambil membuka map yang sama, mungkin menyimak setiap
bacaan agar tidak keliru.
Pandanganku
gelap setelah surat keputusan itu dibacakan. Bahkan saat seluruh siswa bubarpun
aku tak sadar. Aku juga tak merasakan apapun ketika Kevin, Idris dan Reno
memelukku dan mengantarkanku kembali ke asrama. Hari itu sangat kelam, tak ada
cahaya tak ada warna, tak ada suara. Aku berada dalam ruangan kosong, sendiri.
Jam lima sore aku terbangun dari tidur, hanya mata yang membuka,
aku tak bergerak, bahkan tak ada keinginan untuk bergerak, mulutku diam. Kevin,
Idris dan Reno duduk di tepi tempat tidurku. Mereka tidak bertanya, tidak
bicara, tidak pula tersenyum. Mereka hanya diam. Sesaat kulihat Kevin, wajahnya
begitu cemas, aku tak tau apa yang membuatnya begitu, dan menurutku saat ini
tak ada yang ingin aku cari tau. Reno dan Idris pun sama saja, entah sudah
berapa lama mereka di sini.
Mataku kembali kupejamkan, bukan untuk tidur, hanya untuk kembali
ke dalam keputusasaan, mengingat Fikri pacarku, bagian dari hidupku. Aku tak
pernah merasa seperti ini. Aku pernah sakit, demam, tidak ada selera makan, dan
banyak hal lagi ..... tapi rasa ini, ketika Fikri meninggalkan kampus, tanpa
ada tanda, tanpa ada persiapan, tanpa ada kata-kata perpisahan, mungkin sama
rasanya ketika orang yang kita sayang meninggalkan dunia ini, begitu
menyakitkan.
Rasa ini betul-betul menyiksa, aku pecah berkeping-keping, bagai
batu yang hancur menjadi debu, ibarat pohon kering yang lapuk, tumbang dihembus
angin yang tak diundang, tak ada kuasa manusia yang mampu membangkitkannya
kembali. Aku tak pernah ingin bertanya apa yang dilakukan pacarku sehingga dia
dikeluarkan dari kampus ini, aku marah kenapa dia meninggalkanku tanpa ada
kata-kata, bahkan kemarahanku menjadi semakin besar ketika aku tak sempat
bertemu untuk terakhir kalinya.
Aku tidak ingin mendengar alasan, rasa yang ada adalah kemarahan,
kekecewaan, kebencian, kesedihan, rasa sayang yang dalam, kerinduan yang
memuncak dan penyesalan yang terlambat. Aku membenci kakak pengurus OSIS, aku
benci Kepala Sekolah bahkan aku membenci Ketua Yayasan. Aku tak peduli apakah
ada cukup alasan untuk membenci mereka? Tidak! Tidak perlu ada alasan, aku membenci
mereka, itu saja.
Luka ini telah menjadikanku bukan diriku, aku ingin berteriak
dalam ruang hampa yang mengurungku, aku ingin melampiaskan apapun, aku ingin
semua ini berakhir, dan aku ingin ini tidak nyata, ini hanyalah mimpi. Namun
setiap aku membuka mata seakan dunia ini mengejekku, "Ini nyata Ricko,
ini bukan mimpi!"
Suara itu menggema tepat di jantungku, membuat aku sesak, rasanya
ingin kumuntahkan semua isi perutku, tapi apakah itu ada gunanya? Apakah
penderitaan ini akan berakhir. Tidak! takdir itu kembali mengejekku.
Entah berapa lama hidupku berantakan, aku tidak melakukan apapun
kecuali tidur, berbaring, duduk dan sama sekali tidak keluar dari kamar, bahkan
semua surat-surat izin sakit yang diserahkan ke kelasku adalah buatan Idris, aku
tidak lagi memikirkan baik dan buruk, benar dan salah, yang ada hanyalah
kekacauan. Aku tidak peduli dengan aturan-aturan kampus, menurutku itu semua
omong kosong, tidak berguna, dan aku tidak takut untuk melanggarnya. Iya, aku
sangat siap untuk dikeluarkan juga dari sekolah ini.
**************
Hari ini tepat satu minggu Fikri meninggalkan kampus, aku tidak
pernah bertanya apa yang terjadi, mengapa bisa sampai begini, yang ada hanyalah
bagaimana aku harus bertemu pacarku itu. Terbersit dalam benakku untuk pindah
sekolah ke Bekasi agar bisa bertemu Fikri dan satu sekolah dengannya. Bagaimana
caranya? Apa ada alasan untuk meminta kepada papa dan mama? Oke, seandainya
aku memaksa untuk tidak melanjutkan di sekolah ini tentu papa akan mencarikan
SMA di Bandarlampung, artinya sama saja, aku tidak akan bisa bertemu pacarku.
Selain itu aku juga tidak tahu apakah Fikri melanjutkan sekolah di
Bekasi. Mungkin juga dia melanjutkan sekolah di tempat lain, Bandung misalnya,
karena dia punya paman di sana, atau juga Bali di sana juga ada sekolah yang
punya asrama, dan dekat dengan neneknya yang super disiplin (Fikri sering
menceritakannya padaku), semua mungkin saja terjadi mengingat dia telah
dikeluarkan secara tidak hormat dari kampus, artinya tanpa surat pindah.
Mungkin orang tuanya malu bila dia sekolah di Bekasi, jadi bisa saja dimasukkan
ke sekolah asrama lainnya.
Respon orang tuanya juga aku tak tau, mungkinkah orang tua Fikri
akan menerima dan memahami masalah ini begitu saja? Atau malah mereka akan
menambah hukuman lagi untuk pacarku itu? Entahlah, aku tak sanggup untuk
memikirkannya.
Aku kembali duduk di pinggir ranjangku, udara kamar ini terasa
pengap, padahal jendela-jendela kamar sudah dibuka semua. Aku membayangkan
seandainya aku dikeluarkan karena pelanggaran berat, mungkin papa dan mama akan
marah besar. Aku tak tau, bagaiman menjelaskan kepada papa dan mama, apalagi
dengan kasus masuk ke kafe dan melakukan perbuatan tidak pantas seperti
pacarku.
Perbuatan tidak pantas..... apa maksudnya? Setelah pembacaan surat
keputusan di aula pertemuan aku tidak ingin tahu apa yang terjadi, namun
beriring waktu, pikiran ku perlahan mulai terang. Apa persisnya yang dilakukan
pacarku dan teman-temannya sehingga dikeluarkan dari kampus secara tidak
hormat. Ya, melakukan perbuatan yang tidak pantas dilakukan siswa Tridarma
dengan wanita penghibur kafe. Sebenarnya apa yang tidak pantas? Kenapa tidak
dibacakan saja secara spesifik sehingga kami tidak menduga-duga.
Tujuh hari aku berkutat dengan keputusasaan, seakan-akan tidak
mungkin bangkit lagi. Hanya ada satu yang berkembang di kepalaku, bagaimana
caranya agar bertemu dan hidup bersama pacarku. Tapi hari ini, secara perlahan,
puing-puing yang hancur itu mulai terang, mencari arah yang benar, untuk
menemukan sebuah tujuan.
Kekacauan dan kehancuran telah menjadikanku buta, semua gelap,
namun seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit cahaya mulai masuk,
membuat aku mulai berpikir realistis. Keluar dari SMA ini sekarang bukanlah
pilihan tepat, karena tidak ada jaminan aku akan bertemu pacarku, bahkan bisa
saja papa menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi (mengingat lidik dan sidik
adalah keahlian papa). Bukan bertemu pacar, nanti malah papa dan mama tau
hubunganku dengan Fikri.
Aku juga mulai berpikir bagaimana dengan Fikri. Bagaimana dia
menjelaskan pada keluarganya, pasti berat. Membayangkan apa yang dihadapinya sudah
cukup membuat aku menangis dan kembali ke dalam kesuraman. Apakah dia
mengingatku? Mungkin Fikri tidak bisa mengingatku saat ini, karena dia dalam
masalah besar, sangat egois dan tidak pantas bagiku untuk menuntut Fikri
memikirkanku, dia punya beban sendiri dan mungkin juga dia sedang stres berat.
Tapi hatiku menuntut. Aku bisa meringankan bebannya. Andai saja
aku di sisinya, kami bisa berbagi beban, dia tidak harus menghadapi ini
sendirian. Fikri tidak butuh aku membantunya menjelaskan apapun pada keluarganya,
karena akupun tak tau harus menjelaskan apa, tapi keberadaanku dapat memberi
semangat padanya, kami bisa menghabiskan waktu bersama, berdua dan selamanya.
Sungguh ironis aku berfikir bahwa Fikri menginginkan itu,
alih-alih ingin menjadi penyemangat bagi Fikri, tapi sebenarnya akulah yang tidak
ingin berpisah, aku yang tidak mau kehilangan dan aku yang tidak mampu untuk
sendirian. Kenangan tentang kebersamaan kami selalu muncul, potongan-potongan
peristiwa yang begitu nyata, ketika dia menciumku, ketika kami makan berdua
lalu ketika kami duduk bersama teman-teman yang lain, semua tampak masih begitu
jelas. Kebersamaan saat mencari buku tentang cinta remaja di toko buku,
perdebatan kecil kami, canda dan tawa kami, kejahilan kami dan perbuatan-perbuatan
konyol yang senantiasa menghiasi hari-hari dalam hidup kami. Sungguh moment
yang sangat mengesankan, aku selalu ingat saat-saat itu, aku merindukannya
seperti aku merindukan Fikri.
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Aku
bangkit dari ranjang yang beberapa hari ini setia menemaniku, bediri di depan
cermin memandang seorang remaja 16 tahun di depannya. Dengan baju kaos tipis
yang sudah 2 hari tidak diganti, rambut yang tidak karuan lagi bentuknya, wajah
kusut, celana basket yang sudah kumal. Aku berdiri cukup lama memandang diriku
sendiri dalam cermin kamar. Aku menarik nafas panjang, beginilah perasaan telah
membuatku tak berdaya, Fikri adalah pacarku, dan sampai saat ini dia masih
pacarku. Sekarang tidak ada gunanya lagi aku terus begini, aku tidak akan
bertemu dengan Fikri dengan cara ini, aku harus melangkah, bertanya pada
teman-temannya apa yang terjadi, dan tentu saja mencari teman-temanku untuk
mengadu, mencari kehangatan dan meminta semangat yang selalu ada buatku, karena
mereka adalah sahabat-sahabat terbaik. Dan yang paling penting lagi dari
semuanya, aku harus mandi. Dan itu bukanlah sesuatu yang sulit.
*******************************************
Kevin menatapku cukup lama, dia tersenyum. Reno dan Idris berdiri
di sampingnya. Aku melangkah menghampiri ketiga sahabatku, dan memeluk mereka
satu persatu. Ini adalah satu perubahan yang terjadi setelah kepergian Fikri.
Kevin, Reno dan Idris jadi lebih akrab. Mungkin mereka sering bertemu untuk
membahas tentangku, apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya agar aku
dapat sembuh dari luka yang begitu dalam.
Kalau aku ingat-ingat ketiga temanku itu selalu ada di saat aku
menjalani masa-masa sulit beberapa hari ini. Mereka telah bersikap sebagai
teman sejati. Aku tidak begitu ingat apa saja nasehat, support dan motivasi
yang mereka sampaikan agar aku tetap tegar, karena bagiku bukan kata-kata saja
yang aku butuhkan tapi kehadiran merekalah yang membuatku bisa melanjutkan
hidup di kampus ini.
Mereka juga cukup bijak untuk tidak mengungkit-ungkit masalah
Fikri secara langsung denganku bila aku tidak memulainya lebih dulu. Dan bila
aku membahas Fikri, berkeluh kesah, meratapi kesedihanku, mereka mampu menjadi
pendengar yang baik, tidak menyelaku, tidak menyalahkan siapapun, dan itu
sungguh membuatku beruntung memiliki mereka.
Keberuntungan tampaknya masih memihakku.
"Tumben lu mandi" celetuk Kevin ketika kami mengambil
posisi duduk mengitari meja makan di sudut ruangan.
Ini hari pertama aku keluar kamar dengan tampilan seperti
biasanya, Reno dan Idris kelihatannya masih ragu mau menyapaku seperti apa adanya.
Mungkin mereka berdua masih membaca situasi dan emosiku, apakah sudah stabil
atau masih galau.
"Ya harus mandi, kalau nggak mandi gimana aku bisa dapet
pacar baru"' jawabku asal saja.
Kevin mengembangkan senyumannya yang artinya dia tau aku bercanda,
Reno dan Idris malah tertawa. Tawa mereka menyiratkan kebahagiaan yang luar
biasa.
"Akhirnya kamu kembali Rick" timpal Idris. Dia menatapku
dengan lega. Dia menatapku, tatapan seorang teman yang telah lama rindu untuk
bertemu. Ya, aku telah
kembali.
"Namanya juga Ricko, dia kan yang paling tua di antara kita,
pasti dia akan bangkit" ucap Reno menyemangatiku.
"Gue baru nyadar, elu udah tua ya Rick?" celetuk Kevin
sambil menatapku dengan usil. Hahahaha, Padahal aku belum sempat mencerna
ucapan Reno.
"Ouch, Sorry, maksudku dewasa" sela Reno rada malu. Dia
menunduk sambil tersenyum, tampaknya Reno sengaja mau mancing-mancing keusilan
Kevin agar suasana terasa hidup dan cair.
"Iya, aku udah tua. Tapi tetap seksi kan?" jawabku
ketus, seperti jawabanku biasanya ketika Kevin mulai bertindak konyol.
"Kalau hari ini lumayan, tapi kalau kemaren lu nggak ada
seksi-seksinya." lagi-lagi Kevin menyela dengan intonasi serupa.
Hahahahaha, kangen suasana ini, Kevin lanjutkan nak! wkwkwkwkwk.
"Karena aku masih merana............." ucapku singkat
dengan ekspresi yang menyedihkan.
"Tapi hari ini sudah enggak kan?" timpal Idris
hati-hati, kayaknya dia masih belum yakin dengan perubahanku.
Reno dan Kevin jadi diam mendengar pertanyaan kecil Idris, mereka
bertiga menatapku, suasananya jadi sunyi dan serius, sebenarnya ada ide yang
muncul tiba-tiba, yaitu ingin ngerjain teman-temanku ini, tapi mengingat mereka
sudah cukup berat menghadapiku beberapa hari ini, sebaiknya aku tidak merusak
suasana yang sudah mulai nyaman begini.
"The show must go on." ucapku singkat. Mereka bertiga
tersenyum pertanda mereka mendukungku.
"Aku tidak bisa terus-terus mengurung diri di kamar kan.
Selain itu aku harus mencari tau apa sebenarnya yang terjadi." ucapku
pelan.
"Hemmmmmmm, sebenarnya kami, er... hmmmmm sudah cari-cari
info" ucap Idris pelan.
Aku tidak terlalu terkejut, karena pasti masalah Fikri dan
teman-temannya telah menjadi konsumsi siswa, dan tentunya banyak yang bertanya
apa yang terjadi. Seperti keputusan-keputusan lainnya yang pernah dibacakan di
aula, setiap pelanggaran siswa yang dikeluarkan dari kampus pasti cerita-cerita
pelanggaran itu menyebar bak semut yang diinjak sarangnya. Kabar yang tersiar
sering berganti bak musim dengan banyak versi sesuai keinginan si pembawa
berita, siapa lagi kalau bukan biang gosip.
"Ini info valid kok Rick" tambah Kevin, kelihatannya sahabatku
ini menyadari kalau aku kurang yakin dengan info dari Idris. Aku tersenyum
kecil sebagai tanda Kevin dapat melanjutkan informasinya.
"Sekretaris OSIS teman gue tahun lalu. Namanya Arya
Tomi." lanjut Kevin. Reno dan Idris memperhatikan ekspresiku yang
tampaknya mulai tertarik dengan ucapan-ucapan Kevin.
Bila benar Kevin dapat informasi dari Sekretaris OSIS tentu cerita
ini tidak bisa diragukan begitu saja, mengingat Sekretaris adalah Kepala Kantor
OSIS, semua arsip terkait siswa, prestasi dan pelanggaran-pelanggarannya ada di
arsip OSIS, dan dialah sang pemegang kunci. Apalagi posisi Sekretaris OSIS
adalah orang penting kedua di kalangan siswa sekolah ini.
"Tidak lama setelah kejadian hari itu gue berusaha bertanya
sama Arya, dan tentu saja itu bukan hal mudah. Dia gak mau ngomong, karena itu
rahasia. Tapi gue terus kejar, kayak wartawan gitu, kitakan sama-sama kelas 3
SMA, jadi dia gak bisa jaim sama gue, apalagi kita sama-sama dari Jakarta, yang
ada dia gerah dan risih gue buntutin terus"
Kevin diam sesaat ketika beberapa siswa melewati meja kami. Aku
memandang sekeliling ruang makan, tidak ada siswa yang memperhatikan kami, soalnya nggak enak juga karena banyak siswa yang tahu hubunganku dengan Fikri.
Untungnya mereka semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing, ngobrol dan
makan.
Kami bertiga kembali menatap Kevin, artinya dia dapat melanjutkan
infonya yang super valid itu.
"Akhirnya dia mau juga cerita, dengan syarat gue gak ngasih
tau yang lain. Gue iyakan aja, padahal gue ngorek cerita ini kan buat
diceritain sama elu. Reno dan Idris juga, malah udah lebih dulu gue ceritain,
abisnya Reno terus aja ngorek-ngorek" Reno dan Idris mengangguk, pertanda
setuju dengan kata-kata Kevin. Aku mengangguk singkat, supaya Kevin cepat melanjutkan
ceritanya.
"Mereka berlima semua pengurus asrama, asramanya beda-beda,
tapi mereka satu kelas tahun lalu, waktu kelas 1 SMA. Jadi memang sudah
berteman dari tahun lalu dan berlanjut sampai tahun ini." lanjut Kevin dan
anak ini berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya.
"Iya, aku kenal dengan beberapa orang dari mereka."
ucapku datar. Aku tidak terlalu hafal nama-nama teman pacarku itu, tapi tahun
lalu kami sempat kumpul dan nongkrong bareng.
"Menurut pengakuan mereka berlima, ide keluar dari kampus datang
dari Rio, dia memang orang Semarang kan, jadi hafal banget sama kota Semarang
dan seluk beluknya. Mereka berlima keluar kampus setelah absen malam. Dan tiga
orang di antara mereka, tidak termasuk Fikri sudah beberapa kali keluar tanpa
izin dan tidak ketahuan, padahal mereka tidak sadar bagian Keamanan OSIS sudah
curiga, karena mereka sudah dapat informasi dari warga masyarakat yang kerja
sama dengan kampus."
"Maksud kamu seperti mata-mata gitu? Siapa?" potongku
ketika mendengar penjelasan Kevin.
"Nggak tau siapa, tapi yang jelas masyarakat. Mungkin tukang
ojek pangkalan, atau penjaga trayek terminal, bisa siapa saja. Yang jelas
mereka melaporkan aktivitas Rio dan teman-temannya ke bagian Keamanan. Nah
malam itu, Rio dan teman-temannya keluar lagi tanpa izin, dan saat itu Fikri
ikut untuk pertama kalinya."
Aku seperti mau tersedak ketika nama Fikri diucapkan oleh Kevin.
Kenapa juga dia harus ikut, itu adalah perangkap bagian Keamanan untuk
menangkap basah mereka semua. Andai waktu bisa diputar, tentu saja aku akan
melarangnya pergi.
"Menurut Arya, kesalahan Fikri dengan keluar tanpa izin satu
kali sanksinya hanya pemanggilan orang tua dan paling berat skorsing 1 tahun
itu pun atas persetujuan wali kelas. Gue awalnya jadi salting mendengar ucapan Arya,
gue kira dia tau secara spesifik gue mau cari tau tentang Fikri, tapi ternyata
itu dugaan gue aja." sambung Kevin ketika melihat reaksiku.
"Maksud mu dugaan bagaimana?" tanyaku penasaran.
"Gue kira Arya cerita tentang Fikri lebih detail karena dia
tau gue dekat sama pacarnya Fikri, tapi dari kelanjutan ceritanya ternyata
nggak begitu. Arya menyayangkan karena Fikri siswa yang berpotensi, dia cerdas
dan punya leadership, hanya terpengaruh teman-temannya, apalagi tekanan menjadi
pengurus asrama bukanlah hal yang ringan." jelas Kevin.
Aku mencerna cerita Kevin, tentang pendapat Arya, sekretaris OSIS
itu. Bila dipikir memang tugas pengurus asrama itu berat. Sepintas terlihat
menyenangkan, bisa menghukum anggota asrama, dihormati adik-adik kelas, tapi
lebih dari itu ada tanggung jawab yang melekat. Belum lagi disiplin yang ketat,
setiap hari minggu malam seluruh pengurus asrama dikumpulkan oleh Ketua OSIS
dan bagian Keamanan untuk mendapatkan pengarahan, selain itu juga evaluasi atas
pelanggaran-pelanggaran siswa asramanya.
Dalam evaluasi itu tidak jarang para pengurus asrama mendapat
hukuman atas kesalahan anggota asramanya. Selain itu waktu istirahat juga
berkurang, sedangkan tugas-tugas sekolah tetap banyak sama seperti siswa-siswa
lainnya yang tidak menjadi pengurus asrama.
Jadi dengan beban yang begitu banyak, wajar saja mereka perlu
refreshing dan keluar ke kota merupakan pilihan yang tepat. Masalahnya bila
dilakukan tanpa izin dan persetujuan bagian Keamanan OSIS dan guru pengasuh itu
menjadi pelanggaran disiplin.
Kevin menatapku, dia sadar aku sedang mencerna ceritanya, dan
Kevin berhenti sejenak. Reno dan Idris masih duduk di posisi semula, menyimak
kata demi kata.
"Masalahnya pelanggaran mereka tidak hanya sebatas keluar
tanpa izin, tapi masuk diskotik dan memesan wanita penghibur menjadikan semua
masalah jadi runyam" lanjut Kevin hati-hati.
"Memesan wanita penghibur?" tanyaku terkejut.
"Iya, wanita penghibur." jawab Kevin singkat.
"Bukan wanita penghiburnya yang aku tanyakan, maksud memesan
itu apa?" tanyaku penasaran. aku sudah tau wanita penghibur itu maksudnya
apa, tapi memesan... apa maksudnya?
"Hmmmmmmm, Arya nggak mau menjelaskan lebih terperinci lagi,
gue udah paksa." jawab Kevin datar. Aku diam, berpikir keras, untuk apa mereka
memesan wanita penghibur? Apakah mereka mau ditemani tidur? Namun lanjutan
cerita Kevin menjawab pertanyaanku itu.
"Tapi ketika gue tanya apakah mereka menggunakan jasa wanita
penghibur itu untuk melakukan tindakan seksual? Arya menjawab tindakan seksual
yang bagaimana? Terus gue bilang misalnya ML gitu, Arya malah tertawa, dengan
ringan dia jawab itu perzinahan, dan pernah siswa kelas XII dikeluarkan karena
kasus itu dan disebutkan pelanggarannya karena perzinahan, Arya pernah
baca arsip suratnya di sekretariat OSIS, Sebagai Sekretaris OSIS tentu dia tau
semua kejadian-kejadian masa lalu."
"Jadi kesimpulannya?" tanyaku ingin tahu, jujur saja aku
masih ingin tahu lebih detail lagi.
"Hmmmm, kesimpulan gue, mungkin mereka minta ditemani aja,
dan dari jawaban Arya, ada indikasi aktivitas seksual, tapi tidak sampai
berzinah, tebakan gue sih paling oral seks gitu." tambah Kevin dengan
sedikit mengernyitkan mata, tanda dia minta maaf kalau ada yang tersinggung.
Aku menatap Reno dan Idris, keduanya tersenyum tipis, malah
kesannya minta maaf atas kesalahan mereka, padahal mereka tidak salah, aku
malah ingin ketawa lihat reaksi mereka begitu. Oral seks? Cukup memalukan
juga seandainya kata-kata itu yang dibacakan oleh bagian Penerangan dan
Jurnalistik di aula, apalagi di hadapan semua penghuni kampus ini.
"Jadi itu yang membuat mereka dikeluarkan" ucapku pelan
seraya menarik nafas.
"Rick, itu adalah versi resmi OSIS, dan sesuai pengakuan
mereka saat diinterogasi" sela Reno, tampaknya dia tidak ingin aku menduga
lebih jauh lagi.
"Tapi jelas versi itu benar, buktinya mereka mengaku. Mengapa
Fikri tidak pernah bercerita, mengapa dia bertindak sejauh itu, apa yang ada di
pikirannya." balasku dengan senyum sinis. Reno terdiam, Idris yang semula
ingin bicara juga ikut diam.
"Rick, elu berhak bertanya dan marah. Tapi akan lebih baik
bila elu sudah dapat penjelasan dari Fikri." ucap Kevin berusaha
menenangkanku yang sudah mulai kesal.
"Menjelaskan? Bagaimana bisa menjelaskan, dia telah
dikeluarkan, dan tidak tahu kapan bertemu, dan mungkin juga tidak akan pernah
ada penjelasan itu, jadi untuk apalagi mencari penjelasan." bantahku asal
saja. Entah apa yang membuatku jadi marah begini, mungkin rasa kesal atas
kecerobohan pacarku, andai saja dia tidak keluar malam itu, hmmmmm tapi
semuanya sudah terjadi. Penyesalan yang tak berarti.
"Gini Rick, dalam proses interogasi bagian Keamanan hanya
bertanya dan menganggap penting alasan mereka keluar serta pengakuan mereka
saja, tapi bagian Keamanan tidak pernah peduli mengapa mereka melakukan itu.
Pasti ada sebab, Ada asap pasti ada api." Kevin meyakinkanku.
Ucapan Kevin ada benarnya. Tentu saja Keamanan hanya menegakkan
disiplin, mereka tidak akan mencari penyebab siswa-siswa itu melanggar, karena
itu tugas yayasan sebagai pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan.
"Iya, aku tau, tapi setidaknya, dia cerita beban-bebannya
padaku" ucapku lirih, dan air mata sudah menetes.
"Karena dia menyayangimu, dia tidak ingin terlihat lemah di
hadapanmu." tambah Reno yang matanya juga sudah berkaca-kaca.
"Saat ini kita hanya dapat menduga karena kita belum
mendengar alasan Fikri, kita juga tidak bisa menyalahkan teman-temanya, karena
belum tentu mereka mempengaruhi Fikri keluar kampus tanpa izin, meskipun ada
kemungkinan itu" Reno menambahkan dengan bijak.
"Iya, aku tak akan menuntut apapun, aku masih mencintainya,
dan dia masih pacarku. aku juga tidak tahu apakah kami akan bertemu lagi, tapi
yang pasti aku harus tetap melanjutkan hidupku di sini." balasku pelan,
itu adalah hal yang bisa aku lakukan sekarang.
"Iya, itu harus, dan itu keinginan kita semua Rick"
timpal Idris yang dari tadi lebih banyak diam. Aku tersenyum mendengar
ucapannya. Mungkin karena dia yang paling muda jadi tidak banyak bicara.
Padahal aku tetap menghargai pendapat dan masukannya.
"Ketahuannya gimana?" tanyaku ke Kevin yang baru saja
meneguk segelas air,
"Ketika mereka pulang menjelang shubuh, bagian Keamanan sudah
menunggu di asrama masing-masing. Mereka berlima masuk lewat celah di tembok
utara, yang dekat sama lahan praktek pertanian." jawab Kevin cepat,
tangannya masih memegang gelas.
"Yang ditanamin jagung itu?" balasku singkat.
"Iya, bener banget. Nah, setelah sampai asrama masing-masing,
ternyata bagian Keamanan OSIS sudah siap menangkap mereka, dan langsung dibawa
ke kantor guru pengasuh untuk di interogasi, paginya Ketua OSIS, Sekretaris
OSIS, Ketua Siswa perwakilan Daerah Jabodetabek dan daerah terkait lainnya,
bersama bagian keamanan berkumpul. Surat Keputusan dibuat dan diserahkan kepada
Kepala Sekolah untuk diteruskan pada Direktur Yayasan, setelah semua
ditandatangani, kelima siswa diantar ke asrama masing-masing untuk mengepak
barang-barangnya, dan mobil sekolah sudah menunggu untuk diantarkan ke
Semarang, ada yang pulang menggunakan Bus ada juga yang pake pesawat, semua
biaya ditanggung yayasan, dan setiap siswa didampingi guru sekaligus membawa
petikan surat keputusan direktur itu." Jelas Kevin panjang lebar, gayanya
sekarang sudah mirip Dion, ouch jadi ingat Dion.
Seandainya ada Dion, banyak hal ingin aku ceritakan padanya,
sahabatku itu pasti punya banyak jawaban dan nasehat, tapi ketiga sahabat yang
ada di hadapanku saat ini, juga tidak kalah dari Dion, tentu dengan cara yang
berbeda, you are all my best
friend.
"Jadi ada guru yang menemani?" tanyaku tanpa berharap
jawaban, karena itu tidak perlu ditanyakan, hanya penekanan saja dan
rasanya sedikit lega, setidaknya ada yang bisa membantu Fikri menjelaskan pada
orang tuanya.
"Iya ada, wali kelasnya. Jadi waktu kita kumpul di aula hari
itu, mereka berlima sudah tidak di kampus lagi, melainkan dalam perjalanan
pulang, bahkan mungkin si Rio uda sampe, kan dia anak Semarang" lanjut
Kevin lagi.
"Itulah sebabnya, tidak ada siswa yang sempat pamitan sama
teman-temannya bila dikeluarkan secara tidak hormat Rick" Reno mengambil
alih, kelihatannya dia ingin meringankan Kevin yang sudah mulai capek
bercerita.
Dan dari ucapan Reno mengandung arti yang dalam, agar aku tidak
menyalahkan Fikri dan diriku sebab kami terpisah karena keadaan. Hmmmm, iya aku
tahu Ren, tidak ada yang perlu disesali, meskipun berat, saat ini aku sudah
mulai belajar ikhlas dan tabah, aku sudah mulai kuat, walaupun nanti ketika
pulang ke asrama dan sendirian di kamar air mataku akan kembali menetes.
Seakan pintu kegelapan yang mengurungku beberapa hari ini akan
membuka kembali, menarikku dalam suasana gelap gulita penuh kesedihan dan
keputusasaan, tapi setidaknya kali ini aku membawa lentera, sebagai penerang
dalam kegelapan itu, dan pada saatnya nanti aku akan bisa mengatasinya,
menjalani kehidupanku seperti semula.
"Makan kak...." ucap siswa SMP di seberang meja kami,
basa basi sih kayaknya. Dia baru duduk tepat di meja depan.
"Iya, kita baru aja mau makan" jawab Idris ramah.
Hahaha, cepat tanggap anak ini sekarang.
Aku, Reno, Idris dan Kevin bangkit dari tempat duduk menuju meja
prasmanan, aku tersenyum sama anak itu, dan terasa cukup akrab, setelah duduk
dan makan baru ingat dia anak yang dulu rada sok, aku pernah ketemu awal tahun
lalu, waktu itu dia cari temannya di asramaku, anak kelas 2 SMP kalau tidak
salah. Aku berusaha mengingatnya, tapi .... Hmmm, nggak penting juga diingat
sekarang, walaupun aku memandangnya sekali lagi sih, solanya good looking gitu
hehehehe. Udah, ah, aku mau makan dulu, ntar dibilang ganjen lagi.
***************************
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Dengan
satu komando barisan pembawa trompet membentuk formasi baru sambil memainkan
nada-nada yang lumayan tinggi, seluruh unit mampu menampilkan performa
terbaiknya. Tepuk tangan yang menggema di lapangan kampus menandakan
berakhirnya atraksi yang kami tampilkan, diiringi suara drumb dan trompet aku
memberi hormat kepada pembina lalu turun dari podium.
Lega rasanya sudah tampil, atraksi dan formasi-formasi yang kami
peragakan cukup sukses meskipun hanya latihan seminggu, tepat setelah ujian
akhir tahun dilaksanakan. Parade marching band kali ini sebagai penutup dari
rangkaian kegiatan tahunan, dan besok adalah hari libur pertama tahun ajaran
ini, artinya ............. PULANG.
Akhirnya aku mampu bertahan, melewati hari-hariku tanpa Fikri,
pacarku. Tidak ada kabar dan berita, perlahan aku mulai terbiasa, karena
keterpaksaan dan kepasrahan, tak ada yang mampu ku perbuat, setidaknya bertahan
dan bangkit adalah pilihan yang paling logis. Ujian telah usai, aku yakin naik kelas
XI, meski belum tentu di kelas atas lagi. Tahun ini sungguh berat, kehilangan
sahabat terbaikku Dion sudah cukup membuatku jatuh, apalagi badai itu ternyata
belum usai, kurang dari satu tahun kehilangan itu kembali, seakan takdir ini
mempermainkanku.
Kepergian Fikri tanpa kabar menghancurkanku, dengan susah payah
dan berat aku mulai merangkak, sedikit demi sedikit untuk melanjutkan
perjalanan yang tidak berujung. Bahkan setelah kepulangannya tidak ada selembar
surat pun yang aku terima. Mungkin dia sudah melupakanku, atau mungkin dia
belum siap untuk berbicara padaku, meski itu hanya lewat surat.
Entahlah, kepahitan yang aku telan dengan terpaksa sekarang telah
mulai berkurang, aku masih selalu membayangkan dan mengingat pacarku, tapi aku
sudah cukup kuat untuk merelakan dan mengikhlaskannya. Kalau dulu selera
makanku hilang ketika mengingat Fikri, setidaknya saat ini aku masih tetap
makan, meskipun tidak senikmat dulu.
Masa-masa saat kami bersama sangatlah menyenangkan, bahkan Fikri
selalu memelukku usai tampil sebagai Gitapati, dengan penuh semangat dia memuji
penampilanku, dan tentu saja kami hanyut dalam dunia kami, penuh petualangan
dan indah. Dia akan menceritakan kembali bagaimana penampilanku, betapa
sempurna gerakan-gerakan yang aku tampilkan, bahkan bila kami melakukan parade
sambil berjalan Fikri selalu mengiringiku, membawa sebotol air mineral yang dia
siapkan ketika aku dahaga. Oh, kalau ingat masa-masa itu, begitu romantis.
Kami biasa menghabiskan banyak waktu berdua, bercerita hal-hal
kecil, menghayal tantang sesuatu yang mustahil, semua terasa begitu berkesan.
Perlahan air mataku menetes, pada penutup tahun ini saat Marching Band tampil
Fikri sudah tidak di sampingku, beberapa hari lalu ketika masa-masa ujian Fikri
juga tidak lagi menemaniku, tak ada canda dan tawa, tak ada belaian, tak ada
makanan dan minuman yang biasa dia siapkan untukku.
Padahal ujian tahun lalu Fikri menemaniku sepanjang waktu, apalagi
saat itu masa ujian nasional. Dengan sabar dia mengajariku pelajaran yang tidak
ku mengerti, kadang hingga aku tertidur di pundaknya. Memasuki dunia mimpi,
begitu tenang dan nyaman.
Tahun ini semua tinggal kenangan, aku berusaha semampuku untuk
belajar, selain itu aku berjuang untuk dikit demi sedikit bertahan, atas
kenangan-kenangan yang tiada henti membayangiku, bagai tayangan-tayangan film,
menarikku dalam kisah itu, pada akhirnya membuatku jatuh ke dalam dunia yang
gelap, penuh kesedihan dan kehampaan, ruang kosong tak berpintu, tempat
jiwa-jiwa yang tersesat.
Fikri........... tidak mungkin bisa aku melupakanmu, tapi aku akan
belajar untuk tidak mengingatmu, setidaknya untuk saat ini itulah yang paling
masuk akal.
Aku menghapus air mata yang mentes di pipi dengan jubah biru yang
aku gunakan. Dari kerumunan personel marching band Kevin berjalan ke arahku.
Malu rasanya sampai sekarang masih sering nangis, terlihat begitu cengeng dan
rapuh di sekitar sahabat-sahabatku. Belakangan ini aku tidak banyak membahas
tentang Fikri dengan Kevin, dan dia juga tidak bertanya. Hati kami tampaknya
bersepakat, biarlah semua itu jadi masa lalu, yang memberikan semangat bukan
beban.
"Gitapati kita makin keren aja performnya" ucap Kevin
seraya duduk di sampingku.
"Hmmmmmm, thanks"
ucapku pelan. Aku menarik nafas panjang. Kebanyakan siswa sudah bubar, hanya
beberapa pengurus marching band saja yang tersisa, membereskan alat-alat dan
instrumen yang bertumpuk di sudut lapangan.
"Lu pulang besok?' tanya Kevin tanpa menatapku. Di tangannya
masih ada stick drumb. Stick siapa yang dibawa anak ini, dia kan main terompet.
"Iya, papa dan mama yang jemput, sekalian mampir ke Jogja,
kakakku nggak pulang soalnya, karena masih magang" jawabku. Kebetulan mbak
Mita sekarang masih sibuk di kampus, jadi sebelum pulang ke bandar lampung kami
akan mampir dulu di Jogja, sambil jalan-jalan menikmati suasana kota yang sudah
terkenal itu.
Kevin diam sejenak. Dia memainkan stik drumb di tangannya,
iramanya tidak jelas, sesekali dia melantunkan lagu barat yang juga gak aku
kenal.
"Malam ini lu sibuk apa?" tanya Kevin.
Aku menoleh, lagunya tadi sudah selesai tampaknya, stik drumb juga
sudah diletakkan di samping kursi.
"Beres-beres barang lah, banyak pakaian yang mau dimasukin
koper, buku-buku juga, biar besok nggak repot lagi." jawabku datar. Lagian
masa Kevin nggak tau, semua siswa juga malam ini melakukan hal yang sama.
Ouch, kecuali kelas XII seperti Kevin, aku lupa. Siswa kelas 3 SMA
kan belum pulang, karena masih ada pembekalan dan pengumamn kelulusan UN,
sekitar sepuluh harian lagi. Waktu sepuluh hari cukup bikin boring juga,
apalagi suasana kampus sudah sangat sepi, dengan pembekalan yang cukup padat
tidak diragukan lagi hari-hari mereka akan sangat membosankan.
"Jadi ceritanya kamu kesepian kan mulai besok?" candaku.
Kevin mengernyitkan matanya, hahahahaha, kelihatannya komentarku memang benar.
"Iya, semua siswa pulang kecuali kelas XII. Tapi elu juga
ntar waktu kelas 3 SMA akan merasakan hal yang sama. Sepi dalam
kesendirian" balas Kevin.
Aku hanya tertawa, benar juga 2 tahun lagi, giliran kami merasakan
hal serupa. Hmmmm, tapi setidaknya kan masih ada teman-teman seangkatan, masih
ada Reno dan Idris, kami kan masih bersama.
"Malam ini aja aku sudah sendirian." tambahku dengan rada
kecewa, aku baru ingat teman-teman kamarku akan pulang malam ini.
"Emang teman kamarmu kemana?" selidik Kevin, dia
menyipitkan matanya yang sudah sipit itu.
"Irfan, Cipto dan Zia akan pulang malam ini. Orang tuanya
sudah nyampe dari kemaren" jawabku lesu. Aku menghela nafas, nggak enak
juga sih sendirian di kamar, apalagi yang lain sudah pada pulang.
Hmmm, itulah keuntungan bagi yang rumahnya dekat. Irfan asalnya
dari Pati, jadi cuma butuh beberapa jam saja untuk sampai. Cipto dijemput pakde
nya dari Kendal, juga sangat dekat dari sini. Hanya Zia yang agak jauh, dari
Tsikmalaya, tapi bapaknya bawa mobil sendiri dan ngajak pulang malam ini, jadi
besok siang sudah sampe Tasik. Artinya saat ini hanya aku saja yang belum
dijemput.
Sebenarnya liburan secara resmi baru dimulai besok, tapi karena
kegiatan pengarahan sudah dilaksanakan tadi pagi, dan dilanjutkan dengan Pentas
Seni, lalu sore ini marching band sebagai penutup rangkaian kegiatan, jadi
tahun ajaran 2011/ 2012 dianggap sudah selesai sehingga para siswa
diperbolehkan pulang lebih awal.
Beberapa daerah malah sudah menyiapkan bis untuk kepulangan rombongan,
biasanya para wali siswa akan mengadakan acara untuk menyambut mereka.
Berhubung siswa dari lampung tidak terlalu banyak, jadi kami putuskan pulang
masing-masing saja, selain itu jarak yang jauh menggunakan bis juga kurang efektif.
"Gue boleh nemenin lu malam ini Rick?" celetuk Kevin.
Sesaat ku pandang wajahnya dengan ekspresi curiga.
"Nggak boleh!" jawab ku ketus.
Kevin langsug cemberut. Enak aja, cari-cari kesempatan,
mentang-mentang aku sendiri malam ini. Tapi liat mukanya merana begitu kasian
juga.
"Hahahaha, becanda kok. Nemanin ngapain?" sambungku.
Kevin langsung girang, ngarep banget nih.
"Ngobrol-ngobrol aja, besok kan seluruh siswa pada pulang,
jadi malam ini gue mau begadang, ngobrol, cerita-cerita. Daripada lu sendirian
bete, ngeberesin barang-barang palingan juga sebentar kan?" ucap Kevin
dengan nada lebay.
Anak ini pinter banget alasannya. Kalau dipikir-pikir sih Kevin
ada benarnya. Sebenarnya aku sudah ada rencana ngajak Idris dan Reno
menemaniku, tapi belum pasti, karena mereka juga pasti sibuk, Reno sampe sore
ini saja masih di markas klub sepak bolanya, Idris juga masih di ruang teater
nggak tau lagi ngebahas apa, untuk persiapan pentas tahun ajaran baru mungkin,
biasanya mereka ketika pulang dikasih tugas cari-cari referensi. Dari pada
nanti semua nggak bisa, sedangkan ada Kevin nganggur nawarin diri, mending
diterima aja, dan nggak ada ruginya juga.
"Oke, kamu nemeninya mulai sekarang aja." pintaku
seenaknya. Dengan begitu dia pasti nurut dan nggak bakal macam-macam hahahaha.
"Terus pakaian gue gimana?" balas Kevin bingung.
"Kamu kan gak pulang... ngapain? Mau beres-beres
pakaian?" aneh saja, pulang masih sepuluh hari lagi mau beres-beres dari
sekarang.
"Ngaco nih anak. Bukan beres-beres, ini masih pakai kostum,
baju ganti maksud gue." jelas Kevin rada kesal, lucu liat mukanya begitu.
"Hahahahahaha, sory bro. Pakaian ku banyak, muat kok sama
kamu, aku kan sudah hampir sama tinggi sama kamu." balasku santai.
"Emang tinggi lu berapa sekarang?" tanya Kevin pelan.
Anak ini ada aja bahan candaannya, ngapain pakai nanya-nanya tinggi.
"170 centi, emang kamu berapa?" jawabku kesal.
"Serius lu, perasaan tinggi gue jauh di atas elu, gue aja
175, masa lu 170." balas Kevin sambil megang kepalaku.
"Ih... tangan nya." protesku sambil melepaskan tangan
yang seenaknya saja ngucek-ngucek rambut indahku (lebay).
"Memang segitu, kalau nggak percaya ukur saja sendiri."
ucapku ketus. Kevin tertawa, tapi kelihatannya dia belum puas.
"Berat lu berapa?" tanya Kevin lagi.
"Kamu mau ngapain sih nanya aneh-aneh?" dengan kesal aku
plototin anak ini.
"Ya mau ngecek aja, supaya tau baju lu pas nggak sama
gue?" balas Kevin. Aduh, lama-lama bikin ribet si Kevin, dia kan cuma mau
numpang di kamarku, bukan jalan-jalan. Lagian baju tidur juga nggak ada
pengaruhnya, mau kekecilan atau kegedean sama saja, asal jangan robek aja,
kesannya kayak gembel hehehehe.
"Oke-oke, nggak apa-apa deh. Plis, jangan mandangin gue
gitu." dengan sigap Kevin menanggapi tatapanku, tampaknya dia sudah hafal
banget kalau batas kesabaranku sudah habis, rasain
lu.
Aku dan Kevin kembali ke asramaku, setelah melepaskan kostum
marching band kami langsung ke kamar mandi, hanya ada beberapa siswa yang
sedang asik di shower, dan beberapa lagi di toilet. ada juga yang nyuci
pakaian, aneh bukannya besok mau pulang sempat-sempatnya nyuci, kenapa nggak
dibawa pulang aja, nyuci di rumah.
Aku dan Kevin langsung mandi di shower yang kosong, (sendiri-sendiri
loh, walaupun tempat mandinya terbuka dan tidak bersekat). Kami mandi tidak
terlalu lama karena suasananya sepi dan langsung kembali ke kamar. Ada beberapa
baju kaos dan celana boxer aku serahkan ke Kevin, ternyata pakaianku cukup pas
sama kakak kelas yang lebih tinggi dariku itu.
Kami mulai membereskan barang-barangku usai makan malam, hanya
butuh waktu satu jam seluruh barang-barang sudah siap. Buku-buku pelajaran kami
satukan dalam kardus, soalnya koperku sudah sesak, sedangkan tahun ini aku
lumayan rajin beli buku-buku bacaan tambahan terutama yang tidak ada kaitannya
dengan pelajaran hahahaaha,
Kami bersantai sambil bercerita hingga larut malam, tentang
kenangan-kenangan saat tahun pertama aku masuk ke sini, tidak terasa sudah
empat tahun, dan sebentar lagi masuk tahun kelima. Kevin juga bercerita tentang
awal dia masuk ke sekolah ini. Banyak hal yang aku baru tau, dia tidak pernah
bercerita, bagaimana kisahnya masuk ke sekolah Asrama, karena kami sibuk
membahas tentang aku.
Tahun pertama Kevin di sini ternyata tidak jauh berbeda dengan apa
yang kami alami dulu. Ada rasa tidak betah, nggak ada teman, kena hukum karena
pelanggaran dan hal-hal lainnya yang menjadi bumbu sedap dalam menjalankan
hidup di sekolah berasrama.
"Rick, ini buat lu" Kevin mengulurkan sebuah kotak
persegi kepadaku yang dibungkus kertas cokelat. Tumben ngasih aku kado, padahal
liburan-liburan dulu dia nggak pernah begitu. Dengan semangat aku bangkit dari
ranjangku, Kevin masih berbaring di ranjang Irfan.
"Kok pake ngasih-ngasih kado sih, isinya apaan?" ucapku
senyum-senyum, soalnya ini pertama kali kadonya dibungkus hahahaha.
"Kapan lagi gue ngasih kado, buka aja." jawab Kevin
santai, sekarang dia sudah duduk di meja belajarku.
"Jam tangan, ini kan jam tangan yang sering kamu pakai."
ucapku pelan. Ini jam tangan kesayanganya, aku tau. Dia pernah cerita beberapa
waktu lalu, hadiah dari papanya. Saat itu kami tampil di Jogyakarta mengikuti
Hamengkubuwono Cup, papa Kevin nonton dan dia dibelikan jam tangan itu sebagai
hadiah ulang tahun.
"Kamu ngasih barang sepenting begini seperti mau berpisah
aja," ucapku dengan menatap sahabat di depanku itu.
"Rick, kita tidak selamanya sekolah di sini kan?" balas
Kevin pelan, nada suaranya berbeda.
Aku tersedak. Aku baru menyadari ucapannya. Kevin sekarang tamat
sekolah, tentu saja dia akan pulang dan tidak akan pernah kembali ke sini. Ini
tahun terakhirnya. Aku tidak berani memalingkan pandanganku dari jam tangan
yang ku genggam. Suasana sunyi. Inikah alasan Kevin ingin menemaniku? atau
seharusnya aku tau diri, aku yang harus menemaninya, karena ini bisa jadi
pertemuan terakhir kami.
Terpikir olehku, apakah aku sahabat yang baik? kenapa dalam
persahabatan kami selalu tentang Ricko? aku bertanya pada diriku sendiri,
pernahkan aku bertanya tentang Reno dan masalahnya? Idris dan kehidupannya?
Kevin dengan jalan ceritanya? atau barangkali sahabatku Dion dengan
beban-bebanya? Tidak, aku sibuk dengan urusanku, pribadiku, egoku.
Batinku berbisik bahwa aku belum hadir di tengah mereka
seutuhnya.
Tuhan berikan aku waktu, untuk memperbaiki sikap-sikapku, agar aku
mampu melengkapi mereka sebagaimana mereka selalu hadir melengkapiku, menjadi
jembatan bagi mereka agar dapat menyeberang sebagaimana mereka menjadi perahu
bagiku di tengah samudra. Aku ingin menjadi penunjuk arah ketika mereka
tersesat sebagaimana mereka menjadi cahaya ketika aku terjebak dalam kegelapan.
Tuhan, aku hanya ingin menjadi teman yang seutuhnya bagi mereka.
Kevin tersenyum, dia tau aku sedang berpikir keras, memahami apa
sebenarnya yang aku hadapi. Dia melangkah ke ranjang Irfan untuk
beristirahat.
Tanpa berkata aku menarik tangannya.
"Di sini saja...." bisikku pelan.
Kevin menurut, kupandang wajahnya yang biasanya ceria, selalu
gembira dan tertawa. Wajah itu malam ini meneteskan air mata pertamanya, aku
tidak pernah melihat Kevin menangis sedih, bahkan ketika kakeknya meninggal
beberapa waktu lalu.
Kevin merebahkan tubuhnya di ranjangku, tepat di sebelahku. Aku
tidak membuka lagi mulutku, aku juga tidak ingin memikirkan apapun, aku sudah
kehilangan Dion awal tahun ini tanpa mampu memberikan semangat padanya, aku
juga telah kehilangan pacarku tanpa ada kata-kata perpisahan, dan sekarang aku
akan kehilangan salah seorang sahabat untuk kedua kalinya. Tapi kali ini aku
tidak ingin melepasnya tanpa perpisahan, aku memang terkejut, aku memang tidak
menyadari Kevin akan tamat tahun ini, tapi aku sudah tau ini pasti akan terjadi
ketika pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, ketika Pak Romi
membagikan kelas kami empat tahun lalu, bahwa semua akan berpisah pada
akhirnya, karena kami hanya sebentar di sini, ternyata enam tahun memang waktu yang singkat.
"Kak" bisikku pelan
Kevin membalikkan tubuhnya sehingga kami saling berhadapan.
Kupeluk erat Kevin dalam dekapanku, sahabat dan teman yang mengisi hari-hari
yang kosong, yang menyebarkan aura positif dan senyuman. Kami tertidur pulas
dalam pelukan, memasuki dunia mimpi, sejenak beristirahat dari penatnya
kehidupan, karena esok kami akan melanjutkan jalan masing-masing.
Gambar hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
GOOD NIGHT KEVIN....
Bersambung
Aku bahagia karena aku mempunyai sahabat.
ReplyDeleteSelamat membaca.
Kereeeen..
ReplyDeleteselamat membaca
Deleteahhh Leoo makin cinta wkwk lanjutin yaa sayang :) I luv u more than ricko loves fikri hehe semangat!
ReplyDeleteThanks bro.
DeleteAh masa cinta mu begitu besar?
kak, persahabatan jangan diputus begitu aja, sayang banget. sahabat tidak bisa tergantikan oleh siapapun.
ReplyDeletePasti kita ingin selalu bersama, tapi waktu tak akan berkompromi, setiap pertemuan pasti ada perpisahan, setiap kebersamaan pasti jua akan berakhir dengan sendirinya, itu sudah lumrah, maka bagi yang memahami makna betapa pentingnya waktu, dia tidak akan menunggu untuk menyia-nyiakan apa yg ada sekarang, karena semua pasti ada akhirnya. So, manfaatkan waktumu yang ada sekarang.
DeleteCerita nya sangat bagus dan keren serta juga mampu membuat pembacanya bisa merasakan/meresapi setiap rasa yang ada di dalam cerita ini...
ReplyDelete#good story... :-)
terimakasih sudah mampir dan membaca ceritanya, episode selanjutnya akan dipost segera
Deleteleo sayang, kapan mau dilanjut ceritanya nih? hehe eh ada kontak yang bisa dihubungi ngga? line atau email atau apa gitu? aku pengen berteman sama leo :)) salam sayang
ReplyDeleteemail gue leoverry94@gmail.com
DeleteEpisode 14 dong kak
ReplyDeletehahahaha, ditunggu ya. masih ada kesibukan. Bulan ini akan dipost kok. Terima kasih sudah mampir ke blog ya.
DeleteLanjut jangan lama
ReplyDeleteiya om, nggak lama kok. masih ada kesibukan. Bulan ini dipost kok.
DeleteAwi..
DeleteApa yg sebenarnya terjadi? Kak update di wattpad kak, biar banyak yg baca, bagus soalnya ceritanya
ReplyDeleteklw udh senggang ntar dicoba kok, skrg masih belum sempat. Makasih sdh mampir.
DeleteGw baper akut baca cerita loe.. krn gw jadi Bi krn berawal Asrama ... gw benci ma diri gw tpi gw menyukai rasa yg terjadi
DeleteKakak, bagus bnget cerita, detail bnget penulisannya, hmm tpi galau fikri knapa sbnernya?? Tapi muncul lgi kan?? Maaf yah ka aku bnyak nanya, abis ceritany bikin penasaran, aku akan tunggu klnjutanya...
ReplyDeleteMenurut aku mndingan kk posting juga di wattpad pasti lbh bnyak yg baca....
Lanjut mas
ReplyDeleteAwi..
DeleteHemm sudah sering aku baca story dan gak ada bosan bosaya. Itung itung kan nunggu kelanjutannya di episode 14. Tapi kok belum rilis yh, jadi penasaran nih sama kelanjutannya. Semangat kk leo, tolong dilanjut dong kalau bisa secepatnya soalnya gak sabar pengen baca kelanjutannya. Miss your story kk leo ����
ReplyDeleteDitunggu yh kk kelanjutannya
ReplyDeleteHai Kak leo .. Saya penggemar cerita dr Leo Love Story .. dan Saya sangat sukaa dengan Series
ReplyDeleteAda Cerita Cinta Di Asrama
kak .. cerita nya dilanjut lagi dong kak .. jangan ngambang begitu ... aku kepengen tau nasib ricko dan sahabatnya serta nasib kevin serta Fikri kedepannya ...
Bila ada lanjutannya kasih tau yaa kak dmanaa .. Aku sangat senang dan suka dengan cerita kaka
Good luck
Ceritanya menarik banget! Gaya penulisannya buat semua perasaan rasanya dipermainkan sama cerita ini. Senang, sedih, baper, malu, deg2an, dll.
ReplyDeleteSemangat kak nulis lanjutannya~
Btw, ini fiksi kah? Atau real story seseorang? Atau mungkin real story kakak? Hehe.
Episode 14 nya mana
ReplyDeleteSetiap baca per episode selalu terbawa suasana
kok tidak ada sambungan lagi mas....
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKok ga ada sambungannya. Uda lama banget.
ReplyDeleteSudah 2 tahun tapi belum di lanjutin sampai sekarang
ReplyDeleteceritanya bagus, kapan episode 14 nya kelar kak. nggak sabar mau baca. tahun lalu saya sudah baca dan sampai sekarang juga masih dengan harapan yang sama. yaitu mengunggu episode selanjutnya.
ReplyDeleteceritanya bagus, kapan episode 14 nya kelar kak. nggak sabar mau baca. tahun lalu saya sudah baca dan sampai sekarang juga masih dengan harapan yang sama. yaitu mengunggu episode selanjutnya.
ReplyDeleteceritanya bagus, kapan episode 14 nya kelar kak. nggak sabar mau baca. tahun lalu saya sudah baca dan sampai sekarang juga masih dengan harapan yang sama. yaitu menunggu episode selanjutnya.
ReplyDeleteiya nich..kok gak da sambungan ya
ReplyDeleteberhubung email yang masuk ke leoverry94@gmail.com lumayan banyak nanyain tentang kelanjutan cerita ini, gua jawab ya, ini yang paling baru. Jujur gua masih akan melanjutkan cerita ini, meskipun sudah hampir dua tahun vakum. Ada beberapa alasan cerita ini belum dilanjut, salah satunya masalah karir dan kerjaan, jadi gak sempat lanjut lagi. Gua pernah mau paksain di sela2 waktu kerja nulis episode 14, tapi hasilnya mentah, memang menulis benar2 perlu yang santai dan tidak terburu2.
ReplyDeleteAlasan tulisan ini akan tetap gua lanjutin karena masih ada yang mau baca, kadang gua buka statistik blog ini, hmmm ternyata masih ada aja pengunjung. Kadang rame, seperti bulan lalu masih dikunjungi 8.478 kali. Dan tahun ini terbanyak pada bulan Agustus 2018 dengan jumlah kunjungann 10.455 kali dan paling sedikit di bulan Mei sebanyak 2.374 kali. Jadi gua masih optimis akan melanjutkan cerita ini.
Bagaimana dengan alur ceritanya? teman2 yang gua hormati, hehehe, terkait dengan alur cerita tidak akan berubah meski jeda waktu nya lama, karena cerita ini sebenarnya sudah gua buat naskah mentahnya, selain itu cerita ini berdasarkan pengalaman yang gua jalanani (bukan berarti gua Ricko ya, karena bisa iya bisa tidak), jadi tidak akan ada perubahan alur cerita.
Terimakasih atas waktunya udah mampir ke blog ini, gua akan segera merilis episode 14, secepatnya.