Story BY: Leoverry

Ada Cerita Cinta Di Asrama Eps. 12

Minggu, 13 November 2016


Episode 12



Aku, Idris dan Reno duduk diam. Semua membisu, tatapan kami kosong. Di pondok jerami dekat ruang makan, kami duduk di bangku saling berhadapan. Saat ini bukanlah jam makan, bukan juga jam istirahat bahkan tahun ajaran baru saja belum dimulai, namun yang pasti kami bertiga sudah menerima berita kelulusan saat liburan kemarin. Aku sendiri tidak terlalu terkejut, karena sudah yakin pasti lulus SMP.

Kami sekarang siswa SMA. Aku, Idris dan Reno bersama siswa yang baru lulus SMP datang lebih awal ke kampus ini untuk menyelesaikan administrasi dan mendaftar ulang pada jenjang SMA. Hal yang layak disyukuri dan mungkin juga perlu dirayakan, karena kami sekarang siswa SMA, dan akan jadi yang paling senior di kalangan anggota asrama.

Tapi bukan itu yang membuat kami bertiga diam. Suasana hening dan angin yang berhembus pelan seakan berbisik kepada kami. Sekilas kulirik kedua sahabatku itu, tatapan kosong yang sama seperti setengah jam yang lalu. Bahkan Reno sudah siap menumpahkan air mata yang sudah tidak terbendung lagi. Cukup lama kami diam, masing-masing bermain dengan pikiran dan perasaan masing-masing, merangkai dan mengolah rasa yang ada dalam diri yang baru saja beranjak remaja, tak ada yang ingin memulai candaan dan tawa, tak ada yang ingin bercerita tentang kisahnya saat liburan, meskipun yang ingin diluapkan begitu banyak, tapi semua mulut yang hadir seakan terkunci rapat, tatapan-tatapan mata tiga remaja ini sudah menyampaikan semuanya.

Ayah Dion meninggal dua minggu yang lalu. Ya, itu salah satu kesedihan yang bertamu dalam hati kami. Dan lebih lagi ketika kami bertiga harus memaklumi dan menerima dengan berat hati bahwa Dion melanjutkan SMA di Malang, salah seorang sahabat terbaik, serba tahu dan kadang menjengkelkan, entah kapan kami akan berjumpa dengannya. Bahkan bagiku Dion adalah potongan jiwaku, dalam konotasi yang positif tentunya. Dion mengajari banyak hal, Dion melengkapi rasa dalam diri ini, dan Dion ..... tentu saja sahabat kami semua.

Seperti yang pernah ku sampaikan, tidak ada keharusan siswa-siswa SMP kami untuk melanjutkan SMA di tempat ini, bahkan cukup banyak siswa yang tidak melanjutkan di SMA ini, tapi begitu mengetahui salah seorang di antaranya adalah Dion, aku jadi sulit menerimanya, begitu juga Idris dan Reno. Kami semua punya teman-teman lain, aku sudah tinggal di tiga asrama, dan beberapa kali teman-teman kelas juga bertukar, tapi persahabatan kami berempat adalah yang paling dekat. Aku sendiri begitu sulit menerima kenyataan ini, walaupun aku sadar tidak mungkin kami berempat akan selalu bersama dan satu sekolah, hanya saja perpisahan ini terasa begitu cepat. Mungkin banyak yang telah merasakan perpisahan dengan sahabat masa-masa sekolah, namun teman sekolah yang menghabiskan waktu begitu banyak dengan kita, tentu bukan hal yang biasa dan mudah melepasnya.

Pada titik ini hubungan kami dengan Dion akan terputus secara instan, ibarat tali pengikat yang terputus tanpa ada peringatan. Dengan kondisi dan keadaan kami bertiga, mustahil rasanya untuk bertemu lagi, meskipun tetap ada harapan untuk itu. Kakak Dion juga sudah tamat SMA, sangat sulit kami bisa bertanya dan menghubungi Dion. Penyesalan ada dalam diri kami bertiga, kami terlalu sibuk dengan urusan kami masing-masing tahun lalu, bahkan saat ujian nasional aku sibuk dengan urusanku yaitu UN, atau mungkin tepatnya "pacarku", sehingga kami tidak pernah bertanya, tentang keluarga masing-masing di rumah, mengingat ayah Dion tidak meninggal tiba-tiba. Beliau sakit hampir tiga bulan, artinya mulai saat masa-masa ujian nasional lalu.

Aku mengangkat kepalaku yang telah tertunduk lama, air mata mengalir begitu saja, rasa gengsi dan malu sudah tidak aku pedulikan lagi, yang jelas aku benar-benar menyalahkan diriku yang tidak ada pada saat Dion membutuhkan kami di dekatnya.

"Seharusnya kita mengadakan pesta kecil sebelum pulang liburan" ucap Idris pelan. Matanya sayu, anak itu sudah sama tinggi denganku, tapi dia tetaplah yang paling muda di antara kami.

Aku menatapnya. Kata-kata singkat itu telah memecah kebisuan kami. Butuh usaha begitu besar sehingga Idris dapat mengungkapnya dengan begitu tegar.

"Kita tidak tahu kan dia tidak lanjut di sini" Reno menambahkan dengan nada yang nyaris sama.

"Iya, tapi aku merasa belum jadi sahabat terbaik baginya. Aku lebih banyak minta tolong sama Dion, mulai dari masalah pelajaran, tempat curhat dan apa saja, selalu Dion. Tapi aku tidak pernah membantunya, bahkan aku tidak tahu ketika ayahnya sakit" sambung Idris lesu.

"Dia tidak pernah cerita kan.." jawab Reno.

"Iya" ucap Idris pelan.

"Kita semua selalu bergantung pada Dion, dia serba tahu, dia cerdas, dia perhatian, dan kita semua kehilangan." ucapku berusaha tegar.

"Dan kita tidak perlu menyesal karena tidak pernah membantunya, Dion orang yang mandiri dan kuat, dia tidak pernah meminta bantuan bukan karena dia tidak mempercayai kita. Aku yakin dia tidak ingin merepotkan kita. Lagi pula, hal apa yang kita tahu dan dia tidak." sambungku dengan sedikit senyum. Sekilas terbayang wajah Dion sedang menjelaskan tentang sekolah ini tiga tahun lalu.

Entah kekuatan apa yang membuatku mampu mengeluarkan kata-kata yang begitu bijak (menurut versiku tentunya). Mengajak mereka berdua untuk tidak menyalahkan diri, padahal aku sama saja. Biarlah ..... aku belum cukup bijak untuk ini semua, bahkan untuk apapun. Biarlah ....... semuanya mengalir apa adanya.

Dion .......... Anak ceria, aku jadi ingat ketika aku berpikir bahwa dia akan menjadi ketua OSIS dari angkatan kami. Harapan yang sekarang sirna, dia bahkan tidak akan satu sekolah di sini.

"Rick, kamu tahu alamatnya Dion?" tanya Idris

"Ada alamatnya, aku pernah catat. Tapi buat apa kamu nanya itu?" aku balik bertanya.

"Tahun ajaran baru akan dimulai masih satu minggu lebih, kita bisa meneyelsaikan administrasi dan daftar ulang minggu ini, dan ada beberapa hari kosong setelah itu. Aku punya rencana kita bertiga mengunjunginya." ucap Idris semangat.

Aku diam sejenak, mencerna usul Idris yang lumayan itu.

"Kita tidak pernah ke Malang, bahkan aku saja tidak tahu posisinya dimana" ucap Reno ragu.

"Di Jawa Timur" jawab Idris.

"Iya aku tahu, maksudku Malang itu luas, dan kita bertiga belum pernah ke sana." balas Reno.

"Dris, saranmu bagus. Tapi kita perlu pertimbangkan dengan matang. Bila kita tersesat dan kembali tidak tepat waktu akan menjadi masalah. Peraturan tentang tahun ajaran baru sudah sangat jelas." aku berusaha memberi saran.

"Iya aku paham, kita akan diskorsing satu tahun bila tidak hadir." balas Idris.

"Aku hanya bingung, bagaimana caranya agar kita bisa bertemu Dion." tambah Idris.

"Aku juga ingin ketemu Dion, tapi rasanya waktunya terlalu mepet, kita juga belum tahu berapa lama proses administrasi dan pendaftaran ulang." ucap Reno yang telah pindah tempat duduk.

"Ayah Dion sudah dimakamkan dua minggu lalu. Dion sudah menyelesaikan administrasi lebih dulu di sini dari pada kita, dan sekarang mungkin dia sedang sibuk dengan ujian masuk SMA di Malang. Jadi bila kita datang menemuinya, tidak ada asalasan mendesak untuk melakukannya. Menurutku, sebaikanya kita coba telpon saja Dion lewat wartel, kita bisa hubungi telpon rumahnya." aku memberi saran.

"Ide bagus, aku lupa dengan telpon" Reno berdiri girang.

"Wajar saja Ren, di sekolah asrama ini, Telpon, HP dan internet seakan jadi barang yang kuno dan jadul ya" ucapku sambil tertawa kecil.

"Kayaknya kamu akan jadi pengganti Dion Rick, penuh dengan ide" Idris ikut berdiri dan tersenyum.

"Kita sudah terlalu lama di asrama, sehingga lupa kalau komunikasi bisa lewat telpon kan?" jawabku sambil tertawa yang diikuti kedua sahabatku.

Kami semua tersenyum, berusaha saling mengisi ruang kosong yang ditinggal Dion. Aku tahu itu bukan hal mudah, aku bukan Dion, dan aku bukan penggantinya, kami bertiga yang akan menggantikannya dan mengisi ruang kosong itu.

"Ren, Dris, kita akan tetap menemui Dion. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti, setelah kita tamat, atau setelah kita sukses." ucapku tenang.

"Iya, aku juga berfikir begitu, mungkin saat kita sudah kuliah atau kerja." ucap Reno yakin.

Idris tersenyum dan menggangguk. Kami saling memandang sesaat sebelum meninggalkan pondok jerami, tempat kami sering berkumpul pada masa-masa siswa baru dulu. Bahkan kami membahas tentang cara menemui Fikri di kolam renang juga di tempat ini. Aku akan berusaha lebih dewasa, ya.. karena aku yang paling tua diantara kami bertiga, setidaknya meski hanya beberapa bulan saja.

Yang jelas ada keyakinan pada diri kami, bahwa suatu hari nanti kami akan bertemu kembali, bukan hanya Dion, tapi kami berempat, mungkin saat kami sudah bekerja dan sukses, dengan pasangan masing-masing, mungkin juga anak. Tapi apakah aku masih bersama Fikri, entahlah aku tidak pernah berfikir sejauh itu.

****************************

Asrama sudah dibagi, entah kebetulan atau keberuntungan, akhirnya kami bertiga kembali satu asrama, meski bukan satu kamar. Prosesi pembagian asrama kali ini pada dasarnya sama saja seperti tahun-tahun lalu, siswa SMP terlihat begitu antusias dengan aturan-aturan yang dibaca kakak kelas 2 SMA, pengurus asrama Gajah Mada, asrama kami saat ini. Hanya saja, bagi kami bertiga rutinitas ini begitu membosankan, apalagi akan disambung dengan proses orientasi siswa di Balai Pertemuan, ini yang keempat kalinya untuk kami bertiga.

Semua sudah biasa, bahkan beberapa hal sudah kami hafal, hanya satu hal yang baru saat ini, yaitu seragam dan suasana. Ya, saat ini kami siswa SMA, jadi tentu saja kami akan pakai putih abu-abu, lambang kebesaran anak-anak remaja seusia kami, suasana sedikit berbeda, karena kami siswa senior, jadi rada jaim dan belagu sedikit.

Aku juga akan berbagi info tentang banyak orang yang tentu saja dekat denganku. Reno dan Idris satu asrama dengan ku, berbeda kamar, aku di lantai dua, Reno dan Idris di lantai satu. Saat ini aku duduk di kelas X B, Reno XC dan Idris XE. Kami mengenal hampir semua Pengurus asrama Gajah Mada, tentu saja beberapa orang di antara mereka pernah satu asrama denganku, dengan Reno atau Idris, bahkan ada yang pernah 1 kamar, tahun lalu.

Berbicara tentang Fikri pacaraku, aku akan menyimpannya nanti saja, karena banyak hal yang akan aku ceritakan. Adapun Kevin, dia tidak terlalu beruntung, karena Kevin tidak mendapat panggilan untuk menjadi pengurus OSIS. jadi dia termasuk yang pengangguran :). hubungan kami masih sama baiknya, mungkin bagi orang yang tidak dekat denganku atau dia, beranggapan bahwa kami pacaran, meski kadang-kadang Kevin senang-senang saja dengan anggapan itu. Aku tidak pernah menganggap serius tentang hal tersebut, meski kadang kalau dipikir secara jernih, saat ini Kevin sudah tumbuh menjadi Remaja yang begitu tampan. Siswa kelas 3 SMA ini adalah senior pertama yang aku kenal, dia keturunan tionghoa, suka berenang dan memiliki bentuk tubuh yang proposional. (Aku berani bilang begitu karena kami berlima sempat berenang dan Kevin hanya memakai celana mini favoritnya).

Joshua, seorang teman yang mulai akrab tahun lalu, saat ini menjadi pengurus asrama anak baru, dia juga sudah putus sama pacarnya yang sudah tamat. Lumrah, siswa yang telah menyelesaikan studinya disini biasanya meninggalkan semuanya, bahkan pacarnya, hehehehe. Tapi dengan menjadi pengurus di asrama GSB tentu mudah baginya mencari pengganti yang lebih muda dan masih virgin. (kidding Jo, jangan marah gitu wkwkwkwkwkwk).

Itu sedikit cerita tentang teman-temanku atau orang yang ada hubungan denganku. Sebenarnya masih banyak, tetapi terlalu panjang bila kuceritakan, yang jelas setiap orang yang ada di Sekolah ini memberi kesan yang mendalam dalam diriku, karena semua adalah bagian dari proses kehidupan berasrama yang kami jalani. Pertemuan, perkenalan, kebersamaan dalam suka dan duka, dihukum bersama-sama, bercanda di ruang ganti, keusilan-keusilan yang terjadi di kamar mandi kami yang terbuka dan perpisahan adalah tahapan-tahapan dalam kehidupan asrama yang sudah pasti ditemui.

Fikri? ya............ dia pacarku yang cute, Saat ini dia menjadi pengurus asrama Alhambra, asramaku tahun lalu. Dia tidak terpilih sebagai Kepala Asrama, dan kelihatannya pacarku itu juga tidak berminat untuk mengemban jabatan itu. Mungkin banyak yang bertanya, apa saja yang terjadi antara aku dan Fikri selama masa liburan ini. Aku akan jawab dengan jujur bahwa "KAMI TELAH MELAKUKAN HUBUNGAAN SEKS"

Hahahahaha, jangan terlalu terkejut, ini bukan pelampiasan atas kehilangan sahabat terbaikku. Peristiwa itu terjadi sebelum aku tahu berita pindahnya Dion. Malam itu malam pertamaku dan terjadi pertama kali di rumahku. Ya, saat liburan Fikri datang ke rumah, Bekasi-Bandarlampung bukan jarak yang jauh, dengan status kelas 2 SMA akhirnya Fikri mendapat izin untuk liburan ke Bandarlampung, dan akupun dengan sekuat tenaga membantu mengisi tanah dan pupuk kandang ke dalam polibek besar untuk ditanami aneka tanaman (Hobi baru papa) supaya papa mengizinkan pacarku liburan dan menginap di rumah kami (tentu papa dan mama tidak tahu kalau Fikri adalah pacarku).

Kami bersikap layaknya sahabat, tidak ada keanehan pada sikap dan perilaku kami. Papa, mama dan mbok juga biasa-biasa saja. Bahkan mama jadi lebih sering masak, dan sudah menganggap pacarku itu anaknya sendiri, anak menantu (pengennya sih) hahahahaha. Aku dan Fikri juga tidak mengumbar kemesraan, kecuali dalam kamar. Hahahaha.

Fikri tiba di Bandarlampung jam 10.45, Papa menemaniku menjemputnya di bandara Radin Intan II, awalnya mama sudah menyiapkan kamar tamu, tapi aku memaksa agar Fikri tidur di kamarku saja, selain ranjangku ukuran besar, juga agar Fikri tidak merasa sungkan. Fikri juga tidak keberatan dengan usulku itu, atau juga MODUSKU itu :).

"Ih Ricko, masa tamu disuruh tidur di kamar kamu," mama protes.

"Kan sama-sama cowok ma, lagian juga Fikri bukan tamu yang formal ma, dia temenku, biasa kan teman nginapnya di kamar teman" ucapku sambil nyengir.

"Iya tante, di kamar Ricko aja" ucap Fikri malu-malu. Aku tersenyum mendengarnya, hahahahaha.

"Ya sudah, nggak apa-apa. Ricko, bantu angkat kopernya Fikri tuh" ucap mama ke arahku.

"Beres bos," jawabku sambil mengangkat koper pacarku yang nggak terlalu besar.

"oh iya, nak Fikri, kamar Ricko biasanya berantakan, nanti tante suruh mbok bereskan dulu, baru istirahat ya" ucap mama sambil melirik ke arahku.

"Ih mama,.. sudah rapih kok." elakku sambil menenteng koper pacarku yang lengan dan badannya semakin berotot saja.

"Mama masak sana gih, laper nih" pintaku dengan sedikit memelas, dengan penuh senyum mama akhirnya pergi ke dapur dan manggil mbok, kelihatannya membahas makanan apa yang akan dimasak.

Sore itu aku mengantar Fikri berkeliling kota Bandarlampung, tidak terlalu lama sebenarnya, kami sempat mampir ke beberapa mall dan hanya mutar-mutar saja dan membeli sepasang gelang tangan yang sama, lalu menyusuri kota hingga menjelang malam. 

Kami sudah pulang sekitar jam 9 lalu nongkrong di depan rumah bersama papa dan mama. Saling bercerita (yang paling banyak cerita tentu saja papa), papa bercerita tentang kasus-kasus yang dulu ditanganinya sampai merembet tentang isu-isu nasional yang hangat terutama tentang Bank Century yang konon merembet sampai Wakil Presiden Boediono dan ujung-ujungnya bahwa papa sangat mendukung tamat sekolah nanti aku akan sekolah hukum dan jadi Jaksa atau Hakim. Fikri tenang mendengar cerita Papa, sekilas tampak mama kadang cemberut ketika papa berharap aku jadi jaksa, sampai jam menunjukkan pukul 10 tepat, mama dan papa masuk ke dalam dan beristirahat, aku dan Fikri pun tidak berlama-lama di luar, kami masuk ke kamar dan melanjutkan obrolan kecil kami.

Setelah mengganti baju dengan kaos dan celana boxer, aku dan Fikri bercerita sambil berbaring di atas ranjang, tampaknya seprei dan selimut baru saja diganti sama mbok dengan sprei dan badcover putih, supaya kelihatan lebih bersih. 

Kami membahas hal-hal sepele, tapi terasa begitu menarik. Ini pertama kalinya ada pacar yang mendatangi kamarku. Entah berapa lama kami bercerita, hingga aku mencium bibir merah pacarku itu. Dalam keadaan lampu yang padam dan sinar lampu taman yang masuk melalui jendela yang tetutup gorden, aku dan Fikri mulai membuka kaos dan boxer, lalu celana dalam hingga akhirnya tidak ada satupun benang yang menempel di tubuh kami.


Hanya ilustrasi yang disadur dari Google


Ini adalah pengalaman pertamaku dalam berhubungan seks (tidak termasuk onani tentunya). Kami berciuman, cukup lama, saling berpelukan, awalnya Fikri mencium bibirku, lalu terus menjilati leher, pusar hingga kemaluanku. Dia memasukkan batang kejantanan yang telah mengeras itu ke dalam mulutnya, sehingga aku merasakan sensasi hangat yang luar biasa, perlahan tubuhku bergetar dan kadang tersentak. Ada rasa yang belum pernah aku temui, begitu nikmat, suhu tubuhku meningkat begitu cepat, keringat mulai mengalir, mataku mulai terpejam, seandainya aku dokter tentu aku bisa tau reaksi apa saja yang terjadi pada tubuhku.

Entah berapa lama senjataku yang tegak lurus laksana lembing itu bersarang di mulut pacarku yang manis itu, hingga aku mengangkat kepalanya, Fikri tersenyum, sesekali dia mendorong mulutnya hingga ke pangkal penisku yang membuat aku merasakan sensasi luar biasa. Fikri melepaskan penisku dari mulutnya, dia berdiri dengan tubuh telanjang, aku memperhatikan pacarku itu dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, tanpa sehelai benangpun. Otot-otot tangan dan dada yang sudah terbentuk menjadikan remaja 16 tahun itu tampak seksi, dengan perut datar dibasahi keringat dan bulu-bulu kemaluan yang tumbuh subur di sekitar "tugu" yang berujung tumpul itu. 

Lalu perlahan dia maju dan menindih tubuhku, mulut kami kembali berciuman, penisku bergesekan dengan penis Fikri yang sama panjangnya dengan penisku, ditumbuhi bulu-bulu halus yang lebat di sekitar batangnya, gesekan penis kami begitu lembut, membuat keringat mengalir di dada dan tubuhku, tanganku meremas erat pinggul dan pantatnya, terasa begitu lembut. Lalu aku membalik tubuh Fikri dan bergantian menindih tubuhnya yang mulus, pada posisi penis kami masih saling bergesekan, aku mencium bagian belakang telinga pacarku, aroma wangi rambut Fikri membuat nafsu ku bertambah memuncak, kami berguling dan bertukar posisi berkali-kali.

Hembusan nafas kami tersengal, dua remaja belasan tahun yang sedang penuh nafsu birahi melampiaskan semua yang ada pada diri mereka. Desahan-desahan lembut yang keluar membuat suasana semakin membara, bak api yang disiram minyak, berkobar entah kapan berhentinya. Tidak ada lagi yang dipedulikan, kami berdua saling peluk pada posisi berbaring, duduk lalu berdiri, bahkan Fikri tanpa sungkan menjilati rambut-rambut ketiak yang baru saja tumbuh di bawah lenganku. 

Kami melakukannya beberapan detik, menit, meski belum sampai hitungan jam. Lalu dalam waktu tidak begitu lama kami orgasme hampir bersamaan. Sesaat aku terdiam, perasaan malu dan bersalah terasa muncul dalam hatiku, tapi Fikri mencium keningku, aku tersenyum lalu kami berdua membersihkan diri dan mandi berdua di kamar mandi dengan guyuran air panas, saling membersihkan dan beberapa kali kami berciuman lalu kami tidur sampe pagi.

Itu adalah malam pertamaku, kami telah melakukannya atas dasar suka sama suka, meski kami tetap tidak berani lebih jauh untuk melakukan anal seks. Bagaimana malam selanjutnya? tentu saja selama satu minggu liburan di rumahku kami melakukanya setiap malam. Dan kami tetap memegang komitmen untuk tidak melakukan anal seks, setidaknya sampai kami sudah dewasa.

Bahkan jujur saja, beberapa hari lalu kami melakukannya di kelas kosong di lantai empat, hahahaha.Adegannya hampir sama, silahkan saja berimajinasi sendiri.

Kadang sempat terpikir tentang hubungan seks antara aku dan Fikri yang sudah cukup sering kami lakukan. Ada perasaan takut, malu, bersalah, senang, bahagia dan semuanya bercampur. Aku mencintai pacaraku itu dan diapun sama. Tapi hubungan yang kami lakukan mungkin terlalu cepat. Hmmmmmm, meskipun untuk ukuran anak kelas 1 SMA hubungan seks itu bukan hal yang tabu, lagi pula kami hanya saling oral dan bergesekan tubuh dan penis, dan menurutku itu sih masih wajar.

*********************************

Kevin rencananya akan mendatangi asrama Gajah Mada saat olahraga Sore, tampaknya dia sudah dapat kabar kepindahan Dion. Aku menunggunya di lobi asrama sambil memperhatikan beberapa siswa SMP hilir mudik melaksanakan rutinitas sore, ada yang berolahraga, ada yang jajan ke kantin dan kafetaria, ada juga yang ke minimarket sekolah, dan banyak juga yang menghabiskan waktu di warung internet. Kulirik jam besar berbentuk bulat di dinding lobi masih menunjukkan jam 03.40, Kevin belum tiba. Aku sendiri sudah mulai bosan menunggu, sedangkan kedua sahabatku Reno dan Idris punya keesibukan masing-masing, maklum siswa kelas 1 SMA memang sudah banyak beban dan tanggung jawab.

"Kak, Panji di kamar berapa ya?" tanya siswa junior memecah lamunanku. Aku terdiam, menatap anak itu sebentar, tidak terlalu putih, malah berkulit kuning terang menurutku. Hidungnya mancung, rambut hitam dengan style spike, giginya putih dan rapi, bermata cokelat gelap, posturnya slim  dan lebih pendek bebrapa centi dariku.

"Maaf kak, Panji kamar berapa ya?" tanya anak itu bingung.

"Emmmm, oh, iya. Siapa? jawabku gugup. Gara-gara terlalu lama nunggu Kevin aku jadi gagap begini, atau juga aku terpesona dengan anak ini. Hmmmmm.

"Panji kak, kelas 2 D, dari Bandung." ucap anak itu dengan volume suara yang lebih kencang, membuatku jadi nggak enak, seakan-akan anak ini nganggap aku kakek-kakek pikun yang kurang pendengarannya.

"Yang saya tanya kamu ini siapa? dan ngapain cari anggota asrama ini?" balasku dengan intonasi yang tegas. Kan, aku seniornya, masa bocah ini seenaknya saja bicara dengan notasi begitu. Dia pikir dia bicara sama siapa. Mentang-mentang tampang lumayan, aku saja yang terkenal nggak pernah ngomong begitu.

Anak itu diam sejenak, aku malah terkejut dengan reaksinya, dia tidak takut, atau merasa bersalah, dia malah duduk di samping ku sambil mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya. Aku Diam saja, perasaanku semakin enggak enak, bukannya anak ini minta maaf atau lebih sopan, malah dia cuek, seakan-akan tidak mendengar kata-kata ku.

"Aku Leo Ardiansyah, kelas 2 B dari Banjarmasin, asramaku di gedung 17 Agustus kak, Aku mencari Panji siswa dari Bandung, karena dia dipanggil walikelasnya, ada urusan penting" jawabnya singkat, tapi dengan nada lebih ramah.

"Oh, sebaiknya kamu tanya sama kakak yang sedang duduk di ujung koridor itu, dia pengurs asrama, aku sendiri belum banyak kenal anggota asrama kami." ucapku dengan sama ramahnya sambil menunjuk ke arah salah satu pengurus asrama kami.

"Terimakasih kak Ricko" jawabnya sambil berdiri. Aku malah terkejut, Leo ini tau namaku, ternyata ketenaranku sudah sampai pada siswa-siswa junior. (Hahahahaha, geer banget.)

"Leo, kamu tau namaku darimana?" tanyaku dengan penuh percaya diri sesaat ketika Leo bergegas meninggalkanku. Remaja itu berhenti dan menoleh, dia diam dan tersenyum sesaat, alis mata kanannya mengangkat sedikit, seakan-akan ingin memberitahu "itu tidak penting", atau "biasa saja kaleeeee" atu juga "GEER amat si lu". Huft.

"Kakak kan pake papan nama di kemeja kakak, saya permisi dulu kak, terimakasih" jawabnya singkat dan berjalan menuju koridor.

Aku tersenyum, mukaku memerah, serasa baru menelan satu ember jamu. Rasanya susah untuk diungkapkan. MALU BANGET hahahahaha.

"Rick, ngapain lu senyum-senyum sendiri" ternyata Kevin sudah sampai. Dengan celana jeans blue wash model skinny dipadu kaos slim berwarna abu-abu terang dia tampak dewasa. Mungkin kalau tampang remaja nya nggak terlalu dominan, Kevin tampak seperti anak kuliahan.

"Kenapa diam lu?" tanya nya lagi.

"Aku kesambet, kelamaan nunggu." ucapku kesal.

"Sorry bray, gue tadi habis dari luar kampus, nemenin Radit, temen kelas gue yang jadi pengurus di Koperasi pelajar." ucap Kevin.

Kami berjalan keluar dari asrama sambil mengobrol, aku juga nggak tau tujuan Kevin mencariku.

"Kamu kemana tadi keluar kampusnya?" tanyaku tanpa menatap Kevin.

"Kenapa? lu kangen sama gue?" Kevin mulai dengan gayanya. Ya gaya sok penting, sok ngangenin dan sok tau hahahahaha.

"Serius dong jawabnya, aku lagi males bercanda nih." ucapku datar.

"Iya, nggak usah lesu gitu sih. Gue tadi ngantar Radit mesan susu kemasan dari KUD." jawabnya ketus.

"Susu yang dipasturisasi itu ya" ucapku asal,

"Nah tuh lu tau. Enak kan susunya, kalau gue gak suka susu." Kevin mulai lagi dengan nada bicaranya yang suka ngerjain.

"Kalau kamu gak suka, dari mana kamu tau susunya enak" ucapku tenang.

"Tau lah, semua siswa juga bilang begitu, jadi pasti susunya enak. Kalau dalam survei itu artinya 100% valid. Jadi gue bisa tau tanpa harus mencicipinya. Walaupun enak bukan berarti gue suka susu kan?" elak Kevin. Anak ini memang suka ngeyel, pake bawa-bawa survei lagi, mentang-mentang kelas XII.

"Terus kamu suka apa?" tanyaku penuh minat.

"Gue suka sama lu" jawab Kevin nyengir. Dasar cowok gombal, nggak pernah serius.

"Aku tanya suka APA? bukan SIAPA? lagian juga aku sudah tau kamu suka sama aku kok" jawabku jengkel, hitung-hitung sambil nyerang balik. Kadang-kadang gombalannya Kevin perlu juga diladenin, biar dia kapok.

"Kalau lu sudah tau gue suka sama lu, kenapa lu nggak pernah ngasih kesempatan buat gue" Kevin tiba-tiba berlagak serius. Mukanya dibuat seakan-akan dia pernah dianiaya atau lebih tepatnya ditinggal kawin sama pacarnya hahahaha.

"Karena kamu nggak pernah sungguh-sungguh minta aku jadi pacarmu", ucapku dengan nada rada manja, sambil menatap mukanya dengan jarak yang sangat dekat, bahkan nyaris menyentuh hidungnya.

"Oke, kalau gitu sekarang gue minta lu jadi pacar gue." balas Kevin masih dengan nada yang sama, matanya semakin memelas saja, dan cowok putih tinggi ini semakin mendekatkan tubuhnya ke arahku.

"Aku sekarang sudah punya pacar, salah kamu sendiri kelamaan." jawabku dengan menahan tawa. Kevin memasang tampang jutek, aku tertawa dengan obrolan konyol kami, kami melanjutkan jalan dan tidak terasa kami sudah sampai di rumah kaca, tempat praktek pertanian.

Kevin berhenti, dan mukanya masih jutek, aku semakin keras saja tertawa, Kevin mendekat ke arahku.

"Kok lu kayaknya seneng banget ya, bahagia banget gitu ngetawain gue" tanya Kevin sambil mendelik.

"Yaiyalah, lagian kamu seperti cowok ditinggal kawin aja. Sampai kapan kamu mau ngegoadin aku....." balasku sambil cengengesan.

"Sampai gue tau lu tidak ada rasa sama gue" ucap Kevin pelan seraya mendekatkan mukanya ke arahku.

Aku baru saja akan tertawa mendengarnya tapi bibir Kevin sudah menyentuh bibirku, cukup lama.... Aku terdiam, sensasi hangat dan nyaman menjulur ke seluruh tubuhku, entah mengapa aku tidak berusaha menolaknya, dan Kevin sendiri yang mengakahiri ciumannya.

Aku terdiam, Kevin berdiri di depanku, dia tersenyum seakan-akan tidak ada yang salah dengan menciumku.

"Cinta lu memang buat Fikri ternyata, tadi gue tes, kelihatan banget nggak nyetrum"katanya ringan.

"Kamu ngetes pake cium bibir?" tanyaku bingung. Dia senyum-senyum, aku justru bingung, aneh dan nggak tau mau bersikap bagaimana.

"Iya, gue mau tes lu beneran nganggap gue temen atau lebih? ternyata memang cuma temen" jawbnya nyengir.

"Kamu aneh, masa ngetes pake cium bibir. Kalau kamu setiap ketemu orang mau ngetes dia ada rasa atau tidak pake cium bibir pasti kamu sudah ditonjok" ucapku jengkel.

"Nggak juga, buktinya lu nggak nonjok gue" jawabnya ngeles.

"Beneran mau aku tonjok" ucapku.

"Udah telat kali. hahahahahahaha." Kevin tertawa. Aku terdiam sesaat, lama kutatap Kevin, bukanya jengkel ku bertambah entah kenapa justru aku pengen ketawa lihat tampangnya yang atara cerdik, licik dan lugu digabung jadi satu, dan tambahnya tampan.

"Rick, cuma lu aja yang gue tes begitu, karena gue anggap lu dekat dan gak bakal marah, itung-itung kapan lagi gue bisa cium lu." ucapnya santai.

"Aku tau, makanya aku nggak nonjok. Lagian aku pernah mendapat ciuman penuh nafsu dan ciuman sayang." Jawabku datar. Kevin tersenyum mendengarnya, dan tampaknya dia paham siapa yang memberikan ciuman itu.

"Jadi lu tau kalau tadi.."

"Ya, gak usah dibahas lagi, tapi jangan harap kamu bisa ngerjain aku lagi, bikin aku ketawa, terus pas aku lengah bibir kamu udah nyosor aja." ucapku dengan tegas.

"Ya, gue tau, tapi btw kayaknya lu menikmati ciuman gue" Kevin mulai gombal lagi.

"Ciuman sahabat apanya yang mau dinikmati" kilahku.

"Jujur deh, lu suka kan ciuman gue tadi? Mau gue kasih bonus?" Kevin masih saja gombal.

"Udah ah, dari tadi nggak jelas melulu, kamu ngapain ngajak aku jalan sejauh ini, katanya ada yang penting?" tanyaku.

Kevin berhenti dan diam sejenak, dia menatapku, dan tampangnya sirius,

"Gue cuma pengen jalan sama lu, setidaknya menghibur lu. Belakangan ini lu sering murung semenjak Dion melanjutkan SMA di malang." jawab Kevin sambil menatapku.

Tatapan yang dalam, dan penuh arti. aku ingin menanyakan balik atau menyangkalnya, dari mana dia tau kalau aku murung? lagian juga kalau aku lebih sering diam atau menyendiri juga belum tentu karena Dion, dasar Kevin sok tau. 

Tapi aku kenal Kevin, dia tidak pernah serius, dia selalu bercanda, penuh tawa, seperti dia selalu bilang bahwa dia menyukaiku, dan yang terakhir malah mencium bibirku, hmmmm semuanya hanyalah canda dan kekocakannya. Dia tidak benar-benar serius dengan ucapan dan perbuatannya. Tapi satu hal yang aku tau dari Kevin, dia sahabat yang setia, sahabat yang baik, yang selalu suka membantu teman-temannya, meskipun dia jarang serius,

Tapi tatapan dan kata-katanya tentang kemurungan ku karena Dion pindah sekolah mencerminkan dia serius. Aku tidak akan menilai apakah benar atau salah anggapannya bahwa belakangan ini aku lebih pendiam karena Dion pindah, tapi tindakan yang dia lakukan, yang ingin agar aku tidak baper, dan terlalu sedih atas kepindahan Dion sangat aku hargai, maka aku tidak akan bertanya dan membantahnya, aku akan menyampaikan pesan padanya, dan Kevin sahabat dekatku pasti memahaminya.

Kuraih tangannya dan kupeluk Kevin, dia balas memelukku, suasana sore dekat rumah kaca itu begitu tenang. Kami berbalik dan kembali ke asrama, Kevin merangkulku dengan tangan kanannya di atas bahuku, aku menoleh dan kami saling menatap, ku bisikkin pada sahabatku itu,

"Terima kasih"

Dan dia tersenyum, bukan senyuman gombal, ataupun senyuman nakal, tapi senyuman hangat yang penuh pengertian, dia tau bahwa aku baik-baik saja.

Hanya ilustrasi yang disadur dari Google

Bersambung

7 comments:

  1. Pembaca yang budiman, dalam episode 12 ini ada sedikit perbedaan. Pada dasarnya cerita Ada Cerita Cinta di Asrama bergenre remaja nonporn, tetapi demi keutuhan jalannya cerita penuli berpendapat penulis harus tetap menampilkan unsur porn tersebut agar alur cerita tetap terjaga dan natural. Penulis sudah berusaha menggunakan bahasa yang sopan dan tidak kotor, meskipun narasinya tetap vulgar, penulis mohon kebijaksanaan pembaca, bila berkeberatan bisa kirim sarannya ke email leoverry94@gmail.com, masukan anda sangat berarti bagi penulis.
    Penulis juga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengedit naskah episode 12 ini, karena adegan porn yang ada didalamnya perlu disaring dan ditelaah lebih dalam lagi, seberapa besar pengaruhnya terhadap keseluruhan cerita.

    Terimakasih atas kesetiaan para pembaca, selamat membaca

    ReplyDelete
  2. sahabat bisa jadi cinta, hati2 ricko. sedih juga kenapa Dion pindah sekolah. dia yang selalu mengisi hari2 ricko sebagai sahabat sejati bukan sebagai pacar. ditunggu eps selanjutnya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ricko tidak pernah mencintai Dion, begitu juga sebaliknya. Dalam cerita ini Dion memiliki kisahnya sendiri dan dia selalu menganggap Ricko sahabatnya. Penulis akan menulis bagian tersendiri dalam bentuk Cerita Pendek tentang Kevin, Fikri, Dion dan beberapa karakter lain yang belum banyak muncul di Episode 1 s.d 12, begitu juga episode khusus Marching Band.

      Delete
  3. leoo luv luv luv :* muach wkwk semangat ya nulisnya

    ReplyDelete