Minggu,
13 November 2016
Episode 12
Aku, Idris dan Reno duduk diam. Semua membisu, tatapan kami kosong. Di pondok jerami dekat ruang makan, kami duduk di bangku saling berhadapan. Saat ini bukanlah jam makan, bukan juga jam istirahat bahkan tahun ajaran baru saja belum dimulai, namun yang pasti kami bertiga sudah menerima berita kelulusan saat liburan kemarin. Aku sendiri tidak terlalu terkejut, karena sudah yakin pasti lulus SMP.
Kami sekarang siswa SMA. Aku, Idris dan
Reno bersama siswa yang baru lulus SMP datang lebih awal ke kampus ini untuk
menyelesaikan administrasi dan mendaftar ulang pada jenjang SMA. Hal yang layak
disyukuri dan mungkin juga perlu dirayakan, karena kami sekarang siswa SMA, dan
akan jadi yang paling senior di kalangan anggota asrama.
Tapi bukan itu yang membuat kami bertiga
diam. Suasana hening dan angin yang berhembus pelan seakan berbisik kepada
kami. Sekilas kulirik kedua sahabatku itu, tatapan kosong yang sama seperti
setengah jam yang lalu. Bahkan Reno sudah siap menumpahkan air mata yang sudah
tidak terbendung lagi. Cukup lama kami diam, masing-masing bermain dengan
pikiran dan perasaan masing-masing, merangkai dan mengolah rasa yang ada dalam
diri yang baru saja beranjak remaja, tak ada yang ingin memulai candaan dan
tawa, tak ada yang ingin bercerita tentang kisahnya saat liburan, meskipun yang
ingin diluapkan begitu banyak, tapi semua mulut yang hadir seakan terkunci
rapat, tatapan-tatapan mata tiga remaja ini sudah menyampaikan semuanya.
Ayah Dion meninggal dua minggu yang lalu.
Ya, itu salah satu kesedihan yang bertamu dalam hati kami. Dan lebih lagi
ketika kami bertiga harus memaklumi dan menerima dengan berat hati bahwa Dion
melanjutkan SMA di Malang, salah seorang sahabat terbaik, serba tahu dan kadang
menjengkelkan, entah kapan kami akan berjumpa dengannya. Bahkan bagiku Dion
adalah potongan jiwaku, dalam konotasi yang positif tentunya. Dion mengajari
banyak hal, Dion melengkapi rasa dalam diri ini, dan Dion ..... tentu saja
sahabat kami semua.
Seperti yang pernah ku sampaikan, tidak
ada keharusan siswa-siswa SMP kami untuk melanjutkan SMA di tempat ini, bahkan
cukup banyak siswa yang tidak melanjutkan di SMA ini, tapi begitu mengetahui
salah seorang di antaranya adalah Dion, aku jadi sulit menerimanya, begitu juga
Idris dan Reno. Kami semua punya teman-teman lain, aku sudah tinggal di tiga
asrama, dan beberapa kali teman-teman kelas juga bertukar, tapi persahabatan
kami berempat adalah yang paling dekat. Aku sendiri begitu sulit menerima
kenyataan ini, walaupun aku sadar tidak mungkin kami berempat akan selalu
bersama dan satu sekolah, hanya saja perpisahan ini terasa begitu cepat.
Mungkin banyak yang telah merasakan perpisahan dengan sahabat masa-masa
sekolah, namun teman sekolah yang menghabiskan waktu begitu banyak dengan kita,
tentu bukan hal yang biasa dan mudah melepasnya.
Pada titik ini hubungan kami dengan Dion
akan terputus secara instan, ibarat tali pengikat yang terputus tanpa ada
peringatan. Dengan kondisi dan keadaan kami bertiga, mustahil rasanya untuk
bertemu lagi, meskipun tetap ada harapan untuk itu. Kakak Dion juga sudah tamat
SMA, sangat sulit kami bisa bertanya dan menghubungi Dion. Penyesalan ada dalam
diri kami bertiga, kami terlalu sibuk dengan urusan kami masing-masing tahun
lalu, bahkan saat ujian nasional aku sibuk dengan urusanku yaitu UN, atau mungkin tepatnya
"pacarku", sehingga kami tidak pernah bertanya, tentang keluarga
masing-masing di rumah, mengingat ayah Dion tidak meninggal tiba-tiba. Beliau
sakit hampir tiga bulan, artinya mulai saat masa-masa ujian nasional lalu.
Aku mengangkat kepalaku yang telah
tertunduk lama, air mata mengalir begitu saja, rasa gengsi dan malu
sudah tidak aku pedulikan lagi, yang jelas aku benar-benar menyalahkan diriku yang tidak ada pada saat Dion membutuhkan kami di dekatnya.
"Seharusnya kita mengadakan pesta
kecil sebelum pulang liburan" ucap Idris pelan. Matanya sayu, anak itu
sudah sama tinggi denganku, tapi dia tetaplah yang paling muda di antara kami.
Aku menatapnya. Kata-kata singkat itu
telah memecah kebisuan kami. Butuh usaha begitu besar sehingga Idris dapat
mengungkapnya dengan begitu tegar.
"Kita tidak tahu kan dia tidak lanjut
di sini" Reno menambahkan dengan nada yang nyaris sama.
"Iya, tapi aku merasa belum jadi
sahabat terbaik baginya. Aku lebih banyak minta tolong sama Dion, mulai dari
masalah pelajaran, tempat curhat dan apa saja, selalu Dion. Tapi aku tidak
pernah membantunya, bahkan aku tidak tahu ketika ayahnya sakit" sambung
Idris lesu.
"Dia tidak pernah cerita kan.."
jawab Reno.
"Iya" ucap Idris pelan.
"Kita semua selalu bergantung pada
Dion, dia serba tahu, dia cerdas, dia perhatian, dan kita semua
kehilangan." ucapku berusaha tegar.
"Dan kita tidak perlu menyesal karena
tidak pernah membantunya, Dion orang yang mandiri dan kuat, dia tidak pernah
meminta bantuan bukan karena dia tidak mempercayai kita. Aku yakin dia tidak
ingin merepotkan kita. Lagi pula, hal apa yang kita tahu dan dia tidak."
sambungku dengan sedikit senyum. Sekilas terbayang wajah Dion sedang
menjelaskan tentang sekolah ini tiga tahun lalu.
Entah kekuatan apa yang membuatku mampu
mengeluarkan kata-kata yang begitu bijak (menurut versiku tentunya). Mengajak
mereka berdua untuk tidak menyalahkan diri, padahal aku sama saja. Biarlah
..... aku belum cukup bijak untuk ini semua, bahkan untuk apapun. Biarlah
....... semuanya mengalir apa adanya.
Dion .......... Anak ceria, aku jadi ingat
ketika aku berpikir bahwa dia akan menjadi ketua OSIS dari angkatan kami.
Harapan yang sekarang sirna, dia bahkan tidak akan satu sekolah di sini.
"Rick, kamu tahu alamatnya
Dion?" tanya Idris
"Ada alamatnya, aku pernah catat.
Tapi buat apa kamu nanya itu?" aku balik bertanya.
"Tahun ajaran baru akan dimulai masih
satu minggu lebih, kita bisa meneyelsaikan administrasi dan daftar ulang minggu
ini, dan ada beberapa hari kosong setelah itu. Aku punya rencana kita bertiga
mengunjunginya." ucap Idris semangat.
Aku diam sejenak, mencerna usul Idris yang
lumayan itu.
"Kita tidak pernah ke Malang, bahkan
aku saja tidak tahu posisinya dimana" ucap Reno ragu.
"Di Jawa Timur" jawab Idris.
"Iya aku tahu, maksudku Malang itu
luas, dan kita bertiga belum pernah ke sana." balas Reno.
"Dris, saranmu bagus. Tapi kita perlu
pertimbangkan dengan matang. Bila kita tersesat dan kembali tidak tepat waktu
akan menjadi masalah. Peraturan tentang tahun ajaran baru sudah sangat
jelas." aku berusaha memberi saran.
"Iya aku paham, kita akan diskorsing
satu tahun bila tidak hadir." balas Idris.
"Aku hanya bingung, bagaimana caranya
agar kita bisa bertemu Dion." tambah Idris.
"Aku juga ingin ketemu Dion, tapi
rasanya waktunya terlalu mepet, kita juga belum tahu berapa lama proses
administrasi dan pendaftaran ulang." ucap Reno yang telah pindah tempat
duduk.
"Ayah Dion sudah dimakamkan dua
minggu lalu. Dion sudah menyelesaikan administrasi lebih dulu di sini dari pada
kita, dan sekarang mungkin dia sedang sibuk dengan ujian masuk SMA di Malang.
Jadi bila kita datang menemuinya, tidak ada asalasan mendesak untuk
melakukannya. Menurutku, sebaikanya kita coba telpon saja Dion lewat wartel,
kita bisa hubungi telpon rumahnya." aku memberi saran.
"Ide bagus, aku lupa dengan
telpon" Reno berdiri girang.
"Wajar saja Ren, di sekolah asrama
ini, Telpon, HP dan internet seakan jadi barang yang kuno dan jadul ya"
ucapku sambil tertawa kecil.
"Kayaknya kamu akan jadi pengganti
Dion Rick, penuh dengan ide" Idris ikut berdiri dan tersenyum.
"Kita sudah terlalu lama di asrama,
sehingga lupa kalau komunikasi bisa lewat telpon kan?" jawabku sambil
tertawa yang diikuti kedua sahabatku.
Kami semua tersenyum, berusaha saling
mengisi ruang kosong yang ditinggal Dion. Aku tahu itu bukan hal mudah, aku
bukan Dion, dan aku bukan penggantinya, kami bertiga yang akan menggantikannya
dan mengisi ruang kosong itu.
"Ren, Dris, kita akan tetap menemui
Dion. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti, setelah kita tamat, atau setelah kita
sukses." ucapku tenang.
"Iya, aku juga berfikir begitu,
mungkin saat kita sudah kuliah atau kerja." ucap Reno yakin.
Idris tersenyum dan menggangguk. Kami
saling memandang sesaat sebelum meninggalkan pondok jerami, tempat kami sering
berkumpul pada masa-masa siswa baru dulu. Bahkan kami membahas tentang cara
menemui Fikri di kolam renang juga di tempat ini. Aku akan berusaha lebih
dewasa, ya.. karena aku yang paling tua diantara kami bertiga, setidaknya meski
hanya beberapa bulan saja.
Yang jelas ada keyakinan pada diri kami,
bahwa suatu hari nanti kami akan bertemu kembali, bukan hanya Dion, tapi kami
berempat, mungkin saat kami sudah bekerja dan sukses, dengan pasangan
masing-masing, mungkin juga anak. Tapi apakah aku masih bersama Fikri, entahlah
aku tidak pernah berfikir sejauh itu.
****************************
Asrama sudah dibagi, entah kebetulan atau
keberuntungan, akhirnya kami bertiga kembali satu asrama, meski bukan satu
kamar. Prosesi pembagian asrama kali ini pada dasarnya sama saja seperti
tahun-tahun lalu, siswa SMP terlihat begitu antusias dengan aturan-aturan yang
dibaca kakak kelas 2 SMA, pengurus asrama Gajah Mada, asrama kami saat ini.
Hanya saja, bagi kami bertiga rutinitas ini begitu membosankan, apalagi akan
disambung dengan proses orientasi siswa di Balai Pertemuan, ini yang keempat
kalinya untuk kami bertiga.
Semua sudah biasa, bahkan beberapa hal
sudah kami hafal, hanya satu hal yang baru saat ini, yaitu seragam dan suasana.
Ya, saat ini kami siswa SMA, jadi tentu saja kami akan pakai putih abu-abu,
lambang kebesaran anak-anak remaja seusia kami, suasana sedikit berbeda, karena
kami siswa senior, jadi rada jaim dan belagu sedikit.
Aku juga akan berbagi info tentang banyak
orang yang tentu saja dekat denganku. Reno dan Idris satu asrama dengan ku,
berbeda kamar, aku di lantai dua, Reno dan Idris di lantai satu. Saat ini
aku duduk di kelas X B, Reno XC dan Idris XE. Kami mengenal hampir semua
Pengurus asrama Gajah Mada, tentu saja beberapa orang di antara mereka pernah
satu asrama denganku, dengan Reno atau Idris, bahkan ada yang pernah 1 kamar,
tahun lalu.
Berbicara tentang Fikri pacaraku, aku akan
menyimpannya nanti saja, karena banyak hal yang akan aku ceritakan. Adapun
Kevin, dia tidak terlalu beruntung, karena Kevin tidak mendapat panggilan untuk
menjadi pengurus OSIS. jadi dia termasuk yang pengangguran :). hubungan
kami masih sama baiknya, mungkin bagi orang yang tidak dekat denganku atau dia,
beranggapan bahwa kami pacaran, meski kadang-kadang Kevin senang-senang saja
dengan anggapan itu. Aku tidak pernah menganggap serius tentang hal tersebut,
meski kadang kalau dipikir secara jernih, saat ini Kevin sudah tumbuh menjadi
Remaja yang begitu tampan. Siswa kelas 3 SMA ini adalah senior pertama yang aku
kenal, dia keturunan tionghoa, suka berenang dan memiliki bentuk tubuh yang proposional.
(Aku berani bilang begitu karena kami berlima sempat berenang dan Kevin hanya
memakai celana mini favoritnya).
Joshua, seorang teman yang mulai akrab
tahun lalu, saat ini menjadi pengurus asrama anak baru, dia juga sudah putus
sama pacarnya yang sudah tamat. Lumrah, siswa yang telah menyelesaikan studinya
disini biasanya meninggalkan semuanya, bahkan pacarnya, hehehehe. Tapi dengan
menjadi pengurus di asrama GSB tentu mudah baginya mencari pengganti yang lebih
muda dan masih virgin. (kidding Jo, jangan marah gitu wkwkwkwkwkwk).
Itu sedikit cerita tentang teman-temanku
atau orang yang ada hubungan denganku. Sebenarnya masih banyak, tetapi terlalu
panjang bila kuceritakan, yang jelas setiap orang yang ada di Sekolah ini
memberi kesan yang mendalam dalam diriku, karena semua adalah bagian dari
proses kehidupan berasrama yang kami jalani. Pertemuan, perkenalan, kebersamaan
dalam suka dan duka, dihukum bersama-sama, bercanda di ruang ganti, keusilan-keusilan yang terjadi di kamar mandi kami yang terbuka dan
perpisahan adalah tahapan-tahapan dalam kehidupan asrama yang sudah pasti
ditemui.
Fikri? ya............ dia pacarku yang
cute, Saat ini dia menjadi pengurus asrama Alhambra, asramaku tahun lalu. Dia
tidak terpilih sebagai Kepala Asrama, dan kelihatannya pacarku itu juga tidak
berminat untuk mengemban jabatan itu. Mungkin banyak yang bertanya, apa saja
yang terjadi antara aku dan Fikri selama masa liburan ini. Aku akan jawab
dengan jujur bahwa "KAMI TELAH MELAKUKAN HUBUNGAAN SEKS"
Hahahahaha, jangan terlalu terkejut, ini
bukan pelampiasan atas kehilangan sahabat terbaikku. Peristiwa itu terjadi
sebelum aku tahu berita pindahnya Dion. Malam itu malam pertamaku dan terjadi
pertama kali di rumahku. Ya, saat liburan Fikri datang ke rumah,
Bekasi-Bandarlampung bukan jarak yang jauh, dengan status kelas 2 SMA akhirnya
Fikri mendapat izin untuk liburan ke Bandarlampung, dan akupun dengan sekuat
tenaga membantu mengisi tanah dan pupuk kandang ke dalam polibek besar untuk
ditanami aneka tanaman (Hobi baru papa) supaya papa mengizinkan pacarku liburan
dan menginap di rumah kami (tentu papa dan mama tidak tahu kalau Fikri adalah
pacarku).
Kami bersikap layaknya sahabat, tidak ada
keanehan pada sikap dan perilaku kami. Papa, mama dan mbok juga biasa-biasa saja. Bahkan mama jadi lebih sering masak, dan sudah menganggap pacarku itu anaknya sendiri, anak menantu (pengennya sih) hahahahaha. Aku dan Fikri juga tidak
mengumbar kemesraan, kecuali dalam kamar. Hahahaha.
Fikri tiba di Bandarlampung jam 10.45,
Papa menemaniku menjemputnya di bandara Radin Intan II, awalnya mama sudah
menyiapkan kamar tamu, tapi aku memaksa agar Fikri tidur di kamarku saja,
selain ranjangku ukuran besar, juga agar Fikri tidak merasa sungkan. Fikri juga
tidak keberatan dengan usulku itu, atau juga MODUSKU itu :).
"Ih Ricko, masa tamu disuruh tidur di
kamar kamu," mama protes.
"Kan sama-sama cowok ma, lagian juga
Fikri bukan tamu yang formal ma, dia temenku, biasa kan teman nginapnya di
kamar teman" ucapku sambil nyengir.
"Iya tante, di kamar Ricko aja"
ucap Fikri malu-malu. Aku tersenyum mendengarnya, hahahahaha.
"Ya sudah, nggak apa-apa. Ricko,
bantu angkat kopernya Fikri tuh" ucap mama ke arahku.
"Beres bos," jawabku sambil
mengangkat koper pacarku yang nggak terlalu besar.
"oh iya, nak Fikri, kamar Ricko
biasanya berantakan, nanti tante suruh mbok bereskan dulu, baru istirahat
ya" ucap mama sambil melirik ke arahku.
"Ih mama,.. sudah rapih kok."
elakku sambil menenteng koper pacarku yang lengan dan badannya semakin berotot saja.
"Mama masak sana gih, laper nih"
pintaku dengan sedikit memelas, dengan penuh senyum mama akhirnya pergi ke
dapur dan manggil mbok, kelihatannya membahas makanan apa yang akan dimasak.
Sore itu aku mengantar Fikri berkeliling
kota Bandarlampung, tidak terlalu lama sebenarnya, kami sempat mampir ke beberapa mall dan hanya mutar-mutar saja dan membeli sepasang gelang tangan yang sama, lalu menyusuri kota hingga menjelang malam.
Kami sudah pulang sekitar jam 9 lalu nongkrong di depan rumah bersama papa dan mama. Saling bercerita (yang paling banyak cerita tentu saja papa), papa bercerita tentang kasus-kasus yang dulu ditanganinya sampai merembet tentang isu-isu nasional yang hangat terutama tentang Bank Century yang konon merembet sampai Wakil Presiden Boediono dan ujung-ujungnya bahwa papa sangat mendukung tamat sekolah nanti aku akan sekolah hukum dan jadi Jaksa atau Hakim. Fikri tenang mendengar cerita Papa, sekilas tampak mama kadang cemberut ketika papa berharap aku jadi jaksa, sampai jam menunjukkan pukul 10 tepat, mama dan papa masuk ke dalam dan beristirahat, aku dan Fikri pun tidak berlama-lama di luar, kami masuk ke kamar dan melanjutkan obrolan kecil kami.
Kami sudah pulang sekitar jam 9 lalu nongkrong di depan rumah bersama papa dan mama. Saling bercerita (yang paling banyak cerita tentu saja papa), papa bercerita tentang kasus-kasus yang dulu ditanganinya sampai merembet tentang isu-isu nasional yang hangat terutama tentang Bank Century yang konon merembet sampai Wakil Presiden Boediono dan ujung-ujungnya bahwa papa sangat mendukung tamat sekolah nanti aku akan sekolah hukum dan jadi Jaksa atau Hakim. Fikri tenang mendengar cerita Papa, sekilas tampak mama kadang cemberut ketika papa berharap aku jadi jaksa, sampai jam menunjukkan pukul 10 tepat, mama dan papa masuk ke dalam dan beristirahat, aku dan Fikri pun tidak berlama-lama di luar, kami masuk ke kamar dan melanjutkan obrolan kecil kami.
Setelah mengganti baju dengan kaos
dan celana boxer, aku dan Fikri bercerita sambil berbaring di atas ranjang, tampaknya seprei dan selimut baru saja diganti sama mbok dengan sprei dan badcover putih, supaya kelihatan lebih bersih.
Kami membahas hal-hal sepele, tapi terasa begitu menarik. Ini pertama kalinya ada pacar yang mendatangi kamarku. Entah berapa lama kami bercerita, hingga aku mencium bibir merah pacarku itu. Dalam keadaan lampu yang padam dan sinar lampu taman yang masuk melalui jendela yang tetutup gorden, aku dan Fikri mulai membuka kaos dan boxer, lalu celana dalam hingga akhirnya tidak ada satupun benang yang menempel di tubuh kami.
Kami membahas hal-hal sepele, tapi terasa begitu menarik. Ini pertama kalinya ada pacar yang mendatangi kamarku. Entah berapa lama kami bercerita, hingga aku mencium bibir merah pacarku itu. Dalam keadaan lampu yang padam dan sinar lampu taman yang masuk melalui jendela yang tetutup gorden, aku dan Fikri mulai membuka kaos dan boxer, lalu celana dalam hingga akhirnya tidak ada satupun benang yang menempel di tubuh kami.
Hanya ilustrasi yang disadur dari Google |
Ini adalah pengalaman pertamaku dalam
berhubungan seks (tidak termasuk onani tentunya). Kami berciuman, cukup lama,
saling berpelukan, awalnya Fikri mencium bibirku, lalu terus menjilati leher,
pusar hingga kemaluanku. Dia memasukkan batang kejantanan yang telah mengeras
itu ke dalam mulutnya, sehingga aku merasakan sensasi hangat yang luar biasa, perlahan tubuhku bergetar dan kadang tersentak. Ada rasa yang belum pernah aku temui, begitu nikmat, suhu tubuhku meningkat begitu cepat, keringat mulai mengalir, mataku mulai terpejam, seandainya aku dokter tentu aku bisa tau reaksi apa saja yang terjadi pada tubuhku.
Entah berapa lama senjataku yang tegak lurus laksana lembing itu bersarang di mulut pacarku yang manis itu, hingga aku mengangkat kepalanya, Fikri tersenyum, sesekali dia mendorong mulutnya hingga ke pangkal penisku yang membuat aku merasakan sensasi luar biasa. Fikri melepaskan penisku dari mulutnya, dia berdiri dengan tubuh telanjang, aku memperhatikan pacarku itu dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, tanpa sehelai benangpun. Otot-otot tangan dan dada yang sudah terbentuk menjadikan remaja 16 tahun itu tampak seksi, dengan perut datar dibasahi keringat dan bulu-bulu kemaluan yang tumbuh subur di sekitar "tugu" yang berujung tumpul itu.
Lalu perlahan dia maju dan menindih tubuhku, mulut kami kembali berciuman, penisku bergesekan dengan penis Fikri yang sama panjangnya dengan penisku, ditumbuhi bulu-bulu halus yang lebat di sekitar batangnya, gesekan penis kami begitu lembut, membuat keringat mengalir di dada dan tubuhku, tanganku meremas erat pinggul dan pantatnya, terasa begitu lembut. Lalu aku membalik tubuh Fikri dan bergantian menindih tubuhnya yang mulus, pada posisi penis kami masih saling bergesekan, aku mencium bagian belakang telinga pacarku, aroma wangi rambut Fikri membuat nafsu ku bertambah memuncak, kami berguling dan bertukar posisi berkali-kali.
Hembusan nafas kami tersengal, dua remaja belasan tahun yang sedang penuh nafsu birahi melampiaskan semua yang ada pada diri mereka. Desahan-desahan lembut yang keluar membuat suasana semakin membara, bak api yang disiram minyak, berkobar entah kapan berhentinya. Tidak ada lagi yang dipedulikan, kami berdua saling peluk pada posisi berbaring, duduk lalu berdiri, bahkan Fikri tanpa sungkan menjilati rambut-rambut ketiak yang baru saja tumbuh di bawah lenganku.
Kami melakukannya beberapan detik, menit, meski belum sampai hitungan jam. Lalu dalam waktu tidak begitu lama kami orgasme hampir bersamaan. Sesaat aku terdiam, perasaan malu dan bersalah terasa muncul dalam hatiku, tapi Fikri mencium keningku, aku tersenyum lalu kami berdua membersihkan diri dan mandi berdua di kamar mandi dengan guyuran air panas, saling membersihkan dan beberapa kali kami berciuman lalu kami tidur sampe pagi.
Entah berapa lama senjataku yang tegak lurus laksana lembing itu bersarang di mulut pacarku yang manis itu, hingga aku mengangkat kepalanya, Fikri tersenyum, sesekali dia mendorong mulutnya hingga ke pangkal penisku yang membuat aku merasakan sensasi luar biasa. Fikri melepaskan penisku dari mulutnya, dia berdiri dengan tubuh telanjang, aku memperhatikan pacarku itu dari ujung kaki sampai ujung rambutnya, tanpa sehelai benangpun. Otot-otot tangan dan dada yang sudah terbentuk menjadikan remaja 16 tahun itu tampak seksi, dengan perut datar dibasahi keringat dan bulu-bulu kemaluan yang tumbuh subur di sekitar "tugu" yang berujung tumpul itu.
Lalu perlahan dia maju dan menindih tubuhku, mulut kami kembali berciuman, penisku bergesekan dengan penis Fikri yang sama panjangnya dengan penisku, ditumbuhi bulu-bulu halus yang lebat di sekitar batangnya, gesekan penis kami begitu lembut, membuat keringat mengalir di dada dan tubuhku, tanganku meremas erat pinggul dan pantatnya, terasa begitu lembut. Lalu aku membalik tubuh Fikri dan bergantian menindih tubuhnya yang mulus, pada posisi penis kami masih saling bergesekan, aku mencium bagian belakang telinga pacarku, aroma wangi rambut Fikri membuat nafsu ku bertambah memuncak, kami berguling dan bertukar posisi berkali-kali.
Hembusan nafas kami tersengal, dua remaja belasan tahun yang sedang penuh nafsu birahi melampiaskan semua yang ada pada diri mereka. Desahan-desahan lembut yang keluar membuat suasana semakin membara, bak api yang disiram minyak, berkobar entah kapan berhentinya. Tidak ada lagi yang dipedulikan, kami berdua saling peluk pada posisi berbaring, duduk lalu berdiri, bahkan Fikri tanpa sungkan menjilati rambut-rambut ketiak yang baru saja tumbuh di bawah lenganku.
Kami melakukannya beberapan detik, menit, meski belum sampai hitungan jam. Lalu dalam waktu tidak begitu lama kami orgasme hampir bersamaan. Sesaat aku terdiam, perasaan malu dan bersalah terasa muncul dalam hatiku, tapi Fikri mencium keningku, aku tersenyum lalu kami berdua membersihkan diri dan mandi berdua di kamar mandi dengan guyuran air panas, saling membersihkan dan beberapa kali kami berciuman lalu kami tidur sampe pagi.
Itu adalah malam pertamaku, kami telah
melakukannya atas dasar suka sama suka, meski kami tetap tidak berani lebih
jauh untuk melakukan anal seks. Bagaimana malam selanjutnya? tentu saja selama
satu minggu liburan di rumahku kami melakukanya setiap malam. Dan kami tetap
memegang komitmen untuk tidak melakukan anal seks, setidaknya sampai kami sudah
dewasa.
Bahkan jujur saja, beberapa hari lalu kami
melakukannya di kelas kosong di lantai empat, hahahaha.Adegannya hampir sama,
silahkan saja berimajinasi sendiri.
Kadang sempat terpikir tentang hubungan
seks antara aku dan Fikri yang sudah cukup sering kami lakukan. Ada perasaan
takut, malu, bersalah, senang, bahagia dan semuanya bercampur. Aku mencintai
pacaraku itu dan diapun sama. Tapi hubungan yang kami lakukan mungkin terlalu
cepat. Hmmmmmm, meskipun untuk ukuran anak kelas 1 SMA hubungan seks itu bukan
hal yang tabu, lagi pula kami hanya saling oral dan bergesekan tubuh dan penis,
dan menurutku itu sih masih wajar.
*********************************
Kevin rencananya akan mendatangi asrama
Gajah Mada saat olahraga Sore, tampaknya dia sudah dapat kabar kepindahan Dion.
Aku menunggunya di lobi asrama sambil memperhatikan beberapa siswa SMP hilir
mudik melaksanakan rutinitas sore, ada yang berolahraga, ada yang jajan ke
kantin dan kafetaria, ada juga yang ke minimarket sekolah, dan banyak juga yang
menghabiskan waktu di warung internet. Kulirik jam besar berbentuk bulat di
dinding lobi masih menunjukkan jam 03.40, Kevin belum tiba. Aku sendiri sudah
mulai bosan menunggu, sedangkan kedua sahabatku Reno dan Idris punya keesibukan
masing-masing, maklum siswa kelas 1 SMA memang sudah banyak beban dan tanggung
jawab.
"Kak, Panji di kamar berapa ya?"
tanya siswa junior memecah lamunanku. Aku terdiam, menatap anak itu sebentar,
tidak terlalu putih, malah berkulit kuning terang menurutku. Hidungnya mancung,
rambut hitam dengan style spike, giginya putih dan rapi, bermata cokelat gelap,
posturnya slim dan lebih pendek bebrapa centi dariku.
"Maaf kak, Panji kamar berapa
ya?" tanya anak itu bingung.
"Emmmm, oh, iya. Siapa? jawabku
gugup. Gara-gara terlalu lama nunggu Kevin aku jadi gagap begini, atau juga aku terpesona dengan anak ini. Hmmmmm.
"Panji kak, kelas 2 D, dari
Bandung." ucap anak itu dengan volume suara yang lebih kencang, membuatku
jadi nggak enak, seakan-akan anak ini nganggap aku kakek-kakek pikun yang kurang
pendengarannya.
"Yang saya tanya kamu ini siapa? dan
ngapain cari anggota asrama ini?" balasku dengan intonasi yang tegas. Kan,
aku seniornya, masa bocah ini seenaknya saja bicara dengan notasi begitu. Dia
pikir dia bicara sama siapa. Mentang-mentang tampang lumayan, aku saja yang
terkenal nggak pernah ngomong begitu.
Anak itu diam sejenak, aku malah terkejut
dengan reaksinya, dia tidak takut, atau merasa bersalah, dia malah duduk di
samping ku sambil mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya. Aku Diam
saja, perasaanku semakin enggak enak, bukannya anak ini minta maaf atau lebih
sopan, malah dia cuek, seakan-akan tidak mendengar kata-kata ku.
"Aku Leo Ardiansyah, kelas 2 B dari
Banjarmasin, asramaku di gedung 17 Agustus kak, Aku mencari Panji siswa dari
Bandung, karena dia dipanggil walikelasnya, ada urusan penting" jawabnya
singkat, tapi dengan nada lebih ramah.
"Oh, sebaiknya kamu tanya sama kakak
yang sedang duduk di ujung koridor itu, dia pengurs asrama, aku sendiri belum
banyak kenal anggota asrama kami." ucapku dengan sama ramahnya sambil
menunjuk ke arah salah satu pengurus asrama kami.
"Terimakasih kak Ricko" jawabnya
sambil berdiri. Aku malah terkejut, Leo ini tau namaku, ternyata ketenaranku
sudah sampai pada siswa-siswa junior. (Hahahahaha, geer banget.)
"Leo, kamu tau namaku darimana?"
tanyaku dengan penuh percaya diri sesaat ketika Leo bergegas meninggalkanku. Remaja itu berhenti dan menoleh, dia diam dan tersenyum sesaat, alis mata kanannya mengangkat sedikit, seakan-akan ingin memberitahu "itu tidak penting", atau "biasa saja kaleeeee" atu juga "GEER amat si lu". Huft.
"Kakak kan pake papan nama di kemeja kakak, saya
permisi dulu kak, terimakasih" jawabnya singkat dan berjalan menuju koridor.
Aku tersenyum, mukaku memerah, serasa baru menelan satu ember jamu. Rasanya susah untuk
diungkapkan. MALU BANGET hahahahaha.
"Rick, ngapain lu senyum-senyum
sendiri" ternyata Kevin sudah sampai. Dengan celana jeans blue wash model
skinny dipadu kaos slim berwarna abu-abu terang dia tampak dewasa. Mungkin kalau
tampang remaja nya nggak terlalu dominan, Kevin tampak seperti anak kuliahan.
"Kenapa diam lu?" tanya nya lagi.
"Aku kesambet, kelamaan nunggu."
ucapku kesal.
"Sorry bray, gue tadi habis dari luar
kampus, nemenin Radit, temen kelas gue yang jadi pengurus di Koperasi
pelajar." ucap Kevin.
Kami berjalan keluar dari asrama sambil
mengobrol, aku juga nggak tau tujuan Kevin mencariku.
"Kamu kemana tadi keluar kampusnya?"
tanyaku tanpa menatap Kevin.
"Kenapa? lu kangen sama gue?"
Kevin mulai dengan gayanya. Ya gaya sok penting, sok ngangenin dan sok tau hahahahaha.
"Serius dong jawabnya, aku lagi males
bercanda nih." ucapku datar.
"Iya, nggak usah lesu gitu sih. Gue
tadi ngantar Radit mesan susu kemasan dari KUD." jawabnya ketus.
"Susu yang dipasturisasi itu ya"
ucapku asal,
"Nah tuh lu tau. Enak kan susunya,
kalau gue gak suka susu." Kevin mulai lagi dengan nada bicaranya yang suka
ngerjain.
"Kalau kamu gak suka, dari mana kamu
tau susunya enak" ucapku tenang.
"Tau lah, semua siswa juga bilang
begitu, jadi pasti susunya enak. Kalau dalam survei itu artinya 100% valid. Jadi gue bisa tau tanpa harus mencicipinya. Walaupun enak bukan berarti gue suka susu kan?" elak
Kevin. Anak ini memang suka ngeyel, pake bawa-bawa survei lagi, mentang-mentang kelas XII.
"Terus kamu suka apa?" tanyaku
penuh minat.
"Gue suka sama lu" jawab Kevin
nyengir. Dasar cowok gombal, nggak pernah serius.
"Aku tanya suka APA? bukan SIAPA?
lagian juga aku sudah tau kamu suka sama aku kok" jawabku jengkel, hitung-hitung sambil nyerang balik. Kadang-kadang gombalannya Kevin perlu juga diladenin, biar dia kapok.
"Kalau lu sudah tau gue suka sama lu,
kenapa lu nggak pernah ngasih kesempatan buat gue" Kevin tiba-tiba
berlagak serius. Mukanya dibuat seakan-akan dia pernah dianiaya atau lebih tepatnya ditinggal kawin sama pacarnya hahahaha.
"Karena kamu nggak pernah
sungguh-sungguh minta aku jadi pacarmu", ucapku dengan nada rada manja, sambil menatap mukanya dengan jarak yang sangat dekat, bahkan nyaris menyentuh hidungnya.
"Oke, kalau gitu sekarang gue minta
lu jadi pacar gue." balas Kevin masih dengan nada yang sama, matanya semakin memelas saja, dan cowok putih tinggi ini semakin mendekatkan tubuhnya ke arahku.
"Aku sekarang sudah punya pacar,
salah kamu sendiri kelamaan." jawabku dengan menahan tawa. Kevin
memasang tampang jutek, aku tertawa dengan obrolan konyol kami, kami melanjutkan jalan dan tidak terasa
kami sudah sampai di rumah kaca, tempat praktek pertanian.
Kevin berhenti, dan mukanya masih jutek,
aku semakin keras saja tertawa, Kevin mendekat ke arahku.
"Kok lu kayaknya seneng banget ya, bahagia banget gitu ngetawain gue" tanya Kevin sambil mendelik.
"Yaiyalah, lagian kamu seperti cowok ditinggal kawin aja. Sampai kapan kamu mau ngegoadin aku....." balasku sambil cengengesan.
"Sampai gue tau lu tidak ada rasa sama gue" ucap Kevin pelan seraya mendekatkan mukanya ke arahku.
Aku baru saja akan tertawa mendengarnya tapi bibir Kevin sudah menyentuh bibirku, cukup lama.... Aku terdiam, sensasi hangat dan nyaman menjulur ke seluruh tubuhku, entah mengapa aku tidak berusaha menolaknya, dan Kevin sendiri yang mengakahiri ciumannya.
"Kok lu kayaknya seneng banget ya, bahagia banget gitu ngetawain gue" tanya Kevin sambil mendelik.
"Yaiyalah, lagian kamu seperti cowok ditinggal kawin aja. Sampai kapan kamu mau ngegoadin aku....." balasku sambil cengengesan.
"Sampai gue tau lu tidak ada rasa sama gue" ucap Kevin pelan seraya mendekatkan mukanya ke arahku.
Aku baru saja akan tertawa mendengarnya tapi bibir Kevin sudah menyentuh bibirku, cukup lama.... Aku terdiam, sensasi hangat dan nyaman menjulur ke seluruh tubuhku, entah mengapa aku tidak berusaha menolaknya, dan Kevin sendiri yang mengakahiri ciumannya.
Aku terdiam, Kevin berdiri di depanku, dia
tersenyum seakan-akan tidak ada yang salah dengan menciumku.
"Cinta lu memang buat Fikri ternyata,
tadi gue tes, kelihatan banget nggak nyetrum"katanya ringan.
"Kamu ngetes pake cium bibir?"
tanyaku bingung. Dia senyum-senyum, aku justru bingung, aneh dan nggak tau mau bersikap bagaimana.
"Iya, gue mau tes lu beneran nganggap
gue temen atau lebih? ternyata memang cuma temen" jawbnya nyengir.
"Kamu aneh, masa ngetes pake cium
bibir. Kalau kamu setiap ketemu orang mau ngetes dia ada rasa atau tidak pake
cium bibir pasti kamu sudah ditonjok" ucapku jengkel.
"Nggak juga, buktinya lu nggak nonjok
gue" jawabnya ngeles.
"Beneran mau aku tonjok" ucapku.
"Udah telat kali.
hahahahahahaha." Kevin tertawa. Aku terdiam sesaat, lama kutatap Kevin, bukanya jengkel ku bertambah entah kenapa justru aku pengen ketawa lihat tampangnya yang atara cerdik, licik dan lugu digabung jadi satu, dan tambahnya tampan.
"Rick, cuma lu aja yang gue tes
begitu, karena gue anggap lu dekat dan gak bakal marah, itung-itung kapan lagi
gue bisa cium lu." ucapnya santai.
"Aku tau, makanya aku nggak nonjok.
Lagian aku pernah mendapat ciuman penuh nafsu dan ciuman sayang." Jawabku
datar. Kevin tersenyum mendengarnya, dan tampaknya dia paham siapa yang memberikan ciuman itu.
"Jadi lu tau kalau tadi.."
"Ya, gak usah dibahas lagi, tapi
jangan harap kamu bisa ngerjain aku lagi, bikin aku ketawa, terus pas aku
lengah bibir kamu udah nyosor aja." ucapku dengan tegas.
"Ya, gue tau, tapi btw kayaknya lu
menikmati ciuman gue" Kevin mulai gombal lagi.
"Ciuman sahabat apanya yang mau
dinikmati" kilahku.
"Jujur deh, lu suka kan ciuman gue
tadi? Mau gue kasih bonus?" Kevin masih saja gombal.
"Udah ah, dari tadi nggak jelas
melulu, kamu ngapain ngajak aku jalan sejauh ini, katanya ada yang
penting?" tanyaku.
Kevin berhenti dan diam sejenak, dia
menatapku, dan tampangnya sirius,
"Gue cuma pengen jalan sama lu,
setidaknya menghibur lu. Belakangan ini lu sering murung semenjak Dion
melanjutkan SMA di malang." jawab Kevin sambil menatapku.
Tatapan yang dalam, dan penuh arti. aku
ingin menanyakan balik atau menyangkalnya, dari mana dia tau kalau aku murung? lagian juga kalau
aku lebih sering diam atau menyendiri juga belum tentu karena Dion, dasar Kevin
sok tau.
Tapi aku kenal Kevin, dia tidak pernah serius, dia selalu bercanda, penuh tawa, seperti dia selalu bilang bahwa dia menyukaiku, dan yang terakhir malah mencium bibirku, hmmmm semuanya hanyalah canda dan kekocakannya. Dia tidak benar-benar serius dengan ucapan dan perbuatannya. Tapi satu hal yang aku tau dari Kevin, dia sahabat yang setia, sahabat yang baik, yang selalu suka membantu teman-temannya, meskipun dia jarang serius,
Tapi aku kenal Kevin, dia tidak pernah serius, dia selalu bercanda, penuh tawa, seperti dia selalu bilang bahwa dia menyukaiku, dan yang terakhir malah mencium bibirku, hmmmm semuanya hanyalah canda dan kekocakannya. Dia tidak benar-benar serius dengan ucapan dan perbuatannya. Tapi satu hal yang aku tau dari Kevin, dia sahabat yang setia, sahabat yang baik, yang selalu suka membantu teman-temannya, meskipun dia jarang serius,
Tapi tatapan dan kata-katanya tentang
kemurungan ku karena Dion pindah sekolah mencerminkan dia serius. Aku tidak
akan menilai apakah benar atau salah anggapannya bahwa belakangan ini aku lebih
pendiam karena Dion pindah, tapi tindakan yang dia lakukan, yang ingin agar aku
tidak baper, dan terlalu sedih atas kepindahan Dion sangat aku hargai, maka aku
tidak akan bertanya dan membantahnya, aku akan menyampaikan pesan padanya, dan
Kevin sahabat dekatku pasti memahaminya.
Kuraih tangannya dan kupeluk Kevin, dia
balas memelukku, suasana sore dekat rumah kaca itu begitu tenang. Kami berbalik dan kembali ke asrama, Kevin merangkulku dengan tangan kanannya di atas bahuku, aku menoleh dan kami saling menatap, ku bisikkin pada sahabatku itu,
"Terima kasih"
Dan dia tersenyum, bukan senyuman gombal,
ataupun senyuman nakal, tapi senyuman hangat yang penuh pengertian, dia tau bahwa aku
baik-baik saja.
Bersambung
Pembaca yang budiman, dalam episode 12 ini ada sedikit perbedaan. Pada dasarnya cerita Ada Cerita Cinta di Asrama bergenre remaja nonporn, tetapi demi keutuhan jalannya cerita penuli berpendapat penulis harus tetap menampilkan unsur porn tersebut agar alur cerita tetap terjaga dan natural. Penulis sudah berusaha menggunakan bahasa yang sopan dan tidak kotor, meskipun narasinya tetap vulgar, penulis mohon kebijaksanaan pembaca, bila berkeberatan bisa kirim sarannya ke email leoverry94@gmail.com, masukan anda sangat berarti bagi penulis.
ReplyDeletePenulis juga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengedit naskah episode 12 ini, karena adegan porn yang ada didalamnya perlu disaring dan ditelaah lebih dalam lagi, seberapa besar pengaruhnya terhadap keseluruhan cerita.
Terimakasih atas kesetiaan para pembaca, selamat membaca
leooo I luv you :*******
Deletesahabat bisa jadi cinta, hati2 ricko. sedih juga kenapa Dion pindah sekolah. dia yang selalu mengisi hari2 ricko sebagai sahabat sejati bukan sebagai pacar. ditunggu eps selanjutnya...
ReplyDeleteRicko tidak pernah mencintai Dion, begitu juga sebaliknya. Dalam cerita ini Dion memiliki kisahnya sendiri dan dia selalu menganggap Ricko sahabatnya. Penulis akan menulis bagian tersendiri dalam bentuk Cerita Pendek tentang Kevin, Fikri, Dion dan beberapa karakter lain yang belum banyak muncul di Episode 1 s.d 12, begitu juga episode khusus Marching Band.
Deleteleoo luv luv luv :* muach wkwk semangat ya nulisnya
ReplyDeleteCiumannya dahsyat banget wkwkwkwkwwk
DeleteMulai menarik....
ReplyDeleteSukak